You are currently browsing the tag archive for the ‘Agama’ tag.

Oleh Danang Kristiawan, S.Th

Banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius dan agamis. Hal itu didasarkan kenyataan bahwa di Indonesia ada banyak agama dan semua penduduknya diharuskan memeluk suatu agama. Dengan demikian seharusnya kehidupan orang-orang Indonesia kental dengan agama. Kalau itu benar, perlu dipertanyakan mengapa kehidupan moral masyarakat Indonesia sangat terpuruk? Di mana-mana terjadi pelanggaran HAM, korupsi, kekerasan yang pada dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai agama. Memang ini menjadi sebuah keadaan yang paradoksal. Di satu sisi Indonesia kaya akan agama tetapi di sisi lain kehidupan moralnya korup. Maka benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius atau agamis? Apakah agama masih memiliki “taji” bagi masyarakat Indonesia?

Harus diakui, kehidupan keagamaan masyarakat indosnesia pada umumnya masih berada dalam tataran simbolis. Dalam arti pemahaman orang Indonesia mengenai agama masih berkutat pada simbol-simbol luarnya. Antara lain dapat dilihat dari ritual, barang-barang yang berbau agama, perkataan-perkataan yang “ke-agama-agamaan”. Apakah ini salah? Sebenarnya tidak. Karena pada dasarnya agama merupakan sebuah sistem simbol yang diberi makna untuk menerangkan pemahaman mengenai Yang Ilahi. Atau dengan kata lain agama sebenarnya merupakan ungkapan iman yang diekspresikan secara kolektif melalui simbol-simbol yang bermakna. Tetapi yang sering kali dilupakan adalah bahwa simbol itu tidak berdiri pada dirinya sendiri (an sich). Simbol selalu merujuk kepada apa yang disimbolkan, yaitu sesuatu yang sangat bermakna dan tak terbatas, suatu perjumpaan antara manusia dan Tuhan yang diletakkan dalam kerangka iman. Yang menjadi masalah adalah ketika simbol-simbol itu dimutlakkan sehingga menggeser esensi dari simbol itu. Akibatnya terjadi keterputusan antara simbol dengan “dunia” yang disimbolkan. Pada titik tertentu simbol-simbol itu akan menjadi sebuah onggokan “sampah yang mulia” yang tidak bermakna.

Pemahaman orang mengenai agama dapat saja terjebak hanya sebatas simbol-simbol semata. Atau, beragama selalu dilihat dalam keformalannya, aspek kulitnya, tanpa menembus kedalaman hakiki dari agama itu sendiri. Sampai pada taraf tertentu, agama dapat menjadi seperti sebuah barang antik. Orang tertarik pada ritual-ritual keagamaan hanya sebatas sebagai sebuah kesenangan rekreatif yang dibungkus dengan muatan-muatan kepentingan yang lain. Misalnya muatan sosial, supaya orang dilihat sebagai orang yang saleh, rajin, baik. Hal itu didukung pemahaman sebagian besar masyarakat Indonesia yang melihat seseorang itu baik atau tidak berdasarkan pada seberapa rajin orang itu mengikuti ritual-ritual keagamaan dan seberapa banyak simbol-simbol agama yang dikenakan. Misalnya seberapa sering orang itu menyebut haleluya, puji Tuhan, memakai perhiasan salib, ataupun juga dengan mengutip ayat-ayat suci. Bahkan banyak masyarakat kita yang menilai baik buruknya seorang politikus atau birokrat negara dari kefasihannya mengucapkan salam.

Pemahaman agama yang hanya memberi penekanan pada simbol akan memberi peluang bagi penyelewengan-penyelewengan agama untuk kepentingan tertentu. Contoh konkrit adalah di bidang politik. Lihat saja menjelang pemilu, banyak partai mengusung simbol-simbol agama. Ditambah lagi dengan para tokoh politik yang tiba-tiba berubah menjadi “alim” dengan mengunjungi tempat ibadah ataupun melakukan acara-acara keagamaan. Jangan-jangan mereka memakai agama sebagai kendaraan politiknya, yaitu untuk menarik massa sebanyak-banyaknya. Di Indonesia cara itu sangat efektif sekali karena simbol-simbol agama masih memiliki “harga” di masyarakat. Apalagi bila sudah diberi legetimasi ayat-ayat suci akan lebih dahsyat lagi pengaruhnya. Padahal itu dapat saja menjadi pembohongan dan hanya merupakan akal-akalan memanfaatkan alam pikir masyarakat Indonesia yang sudah banyak terjebak pada pengagungan simbol.

Tetapi justru di sinilah “taji” dari agama-agama di Indonesia. Jelas agama masih memiliki peran yang besar, namun sayangnya perannya lebih banyak dijadikan sebagai kendaraan kepentingan. Agama-agama yang diharapkan menjadi landasan etik, moral, dan transformasi sosial bangsa Indonesia masih jauh dari harapan. Buktinya semakin banyak aturan mengenai kehidupan beragama, semakin banyak tempat ibadah didirikan, tetapi toh semakin banyak orang-orang yang semakin merosot moralitasnya. Mengapa demikian? Sekali lagi karena keberagamaan hanya menekankan pada aspek simbolis tanpa mampu menembus jati diri dan nurani para pemeluknya. Dengan demikian, kembali ke pertanyaan awal, apakah benar masyarakat Indonesia sungguh masyarakat agamis? Jangan-jangan hanya berkulitkan agamis tetapi sesungguhnya sama sekali tidak peduli dengan agama (sekulerisme?). Atau orang-orang hanya sekedar mempunyai agama tetapi tidak ber-agama atau menghidupi agama.

Mempunyai agama ( having religion) berarti ada jarak antara individu dengan agama yang dipeluknya. Agama seperti barang antik yang dipunyai dan dapat disimpan atau dikenakan tetapi tidak membawa pengaruh dalam kehidupannya. Ber-agama (being religious) merupakan sebuah “proses menjadi” yang terus menerus. Ada kelekatan antara individu dan agama yang dipeluknya. Agama tidak hanya sekedar dimiliki atau dipeluk, tetapi juga dihidupi.

Untuk ini, Romo Mangun biasa membedakan antara “agama” dan “religiositas”. Keduanya terkait tetapi tidak sama. Agama biasanya memiliki aspek perhatian pada sisi luarnya atau formalnya, peraturannya, hukumnya, organisasinya, ritualnya, dan sistem-sistem ajarannya. Sedangkan religiositas lebih menekankan aspek esensinya yaitu hidup batin yang menjadi akar dalam berelasi dengan Tuhan dan sesamanya. Religiositas lebih mengarah pada penghayatan iman dan nilai-nilai ketuhanan. Jadi lebih menekankan aspek dalam (inner) dan kedewasaannya. Seorang yang secara formal tidak beragama atau tidak banyak mengenakan simbol-simbol agama dapat bersikap lebih religius dari pada orang yang secara resmi beragama tetapi korup. Walaupun idealnya adalah orang beragama sekaligus hidup religius.

Dilihat dari pemikiran ini, bangsa Indonesia dapat saja mengklaim sebagai bangsa yang agamis, tetapi belum tentu bangsa yang religius. Karena religiusitas akan terwujud dalam praktik kehidupan. Tentunya bagi kita, umat Kristen, perlu merenungkan kembali keberagamaan kita. Apakah kita sungguh menjadi Kristen atau sekedar mempunyai agama Kristen? Apakah kita sungguh ber-iman atau hanya sekedar mempunyai iman?

Selamat Datang

Selamat datang di Blog Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Jepara. Sebuah gereja yang berlokasi di kota Jepara, Jawa Tengah. Untuk melihat profil GITJ Jepara, silahkan klik pada tab "sejarah GITJ Jepara" di mainbar. Tuhan memberkati.
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Tulisan Terbaru