You are currently browsing the tag archive for the ‘Tunggul Wulung’ tag.

Oleh Danang Kristiawan, S.Th

Tunggul Wulung Bahwa salahlah jika orang Jawa mengikuti seorang utusan Injil Eropa. Mereka harus merupakan orang Kristen Jawa dan mereka harus mencari ‘seorang Kristus bagi mereka sendiri’ “

(Kyai Ibrahim Tunggul Wulung)

Pendahuluan

Berbicara mengenai kekristenan di Jawa, khususnya di sekitar pantura, tidak dapat dipisahkan dari seseorang bernama Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (± 1800-1885). Namun ada kesan nama Tunggul Wulung tidak begitu familiar di kalangan gereja-gereja masa kini. Di GITJ, Tunggul Wulung kalah populer dibandingkan dengan Pieter A. Janz, misionaris Mennonite dari badan misi DZV Belanda. Catatan sejarah mengenai asal mula GITJ sebagian besar merujuk pada Janz sebagai tokoh utamanya. Bukti dari hal itu dapat dilihat dari Pokok-Pokok Ajaran yang selama ini digadang-gadang sebagai kristalisasi rumusan teologi GITJ ternyata sama sekali tidak memberikan perhatian sedikitpun terhadap Tunggul Wulung. Tidak hanya pribadinya yang terlupakan, pemikiran dan gerakannya pun ditinggalkan. Masih banyak di kalangan pengajar GITJ yang menganggap ajaran Tunggul Wulung sebagai bentuk kekeliruan secara teologis, dangkal karena hanya dua bulan belajar agama Kristen, dan dianggap sinkretisasi kepercayaan Jawa. Sebuah ironi memang, di mana seorang tokoh besar, Rasul Jawa yang mencoba menghayati kekristenan secara otentik sesuai pergumulan komunitasnya, namun akhirnya terlupakan, terkhianati oleh komunitasnya sendiri!

Pertanyaannya kenapa Tunggul Wulung tersisihkan di dalam sejarah GITJ? Tentu ada banyak hal yang bisa disampaikan di sini, tetapi saya melihat ketersisihan Tunggul yang Jawa, pribumi, dan awam, disebabkan karena dampak kolonialisme yang telah meresap dalam alam kesadaran kita! Studi postkolonial telah menunjukkan bahwa kolonialisme dan imperialisme Barat di negara-negara dunia ketiga (Asia, Afrika) tidak hanya berada dalam tataran fisik saja berupa penguasaan sumber-sumber alam, tetapi juga dalam tataran pengetahuan. Kolonialisme merupakan kekuatan dominan yang berpengaruh di banyak bidang kehidupan, baik itu bahasa, ideologi, cara berpikir, teologi, maupun kebudayaan. Kolonialisme bersifat hegemonik, di mana kultur kolonial (Barat) diresapkan sedemikian rupa di dalam wilayah koloninya hingga berpengaruh terhadap identitas kulturalnya.[1] Bahkan ketika kolonialisme berakhir, dampak laten hegemoni kolonial masih tertanam begitu kuat. Contoh yang sederhana, kenapa ketika kita berbicara tentang perempuan cantik selalu menunjuk pada sosok yang putih, tinggi, rambut lurus, dan tubuh langsing? Kenapa yang hitam, rambut keriting, berotot dianggap tidak cantik? (karena itu banyak pemutih kulit laku di Indonesia). Bukankah sosok seperti itu adalah gambaran ideal orang Eropa? Seandainya yang menguasai dunia beberapa abad yang lalu adalah orang-orang kulit hitam, mungkin gambaran mengenai yang cantik bisa berbeda!

Akibat dari hegemoni tersebut adalah terjadinya pembiasan dalam penilaian kita. Segala hal yang bercorak Barat selalu dianggap lebih baik, lebih benar, dibandingkan Asia yang sering dipersepsikan tidak rasional, banyak mitos, dan kurang beradab. Artinya dasar pengetahuan yang dijadikan sebagai kriteria penilaian adalah kriteria Barat. Pengaruhnya terhadap teologi dan ajaran gereja pun sangat kuat. Teologi yang sistematis dan rasional (corak Barat) dinilai lebih benar dari pada yang mistis (corak Asia). Rumusan-rumusan tegas dianggap lebih tinggi dari pada cerita-cerita. Metode-metode historis dianggap lebih benar dari pada metafora dan alegoris yang sering kali dipakai orang Asia. Memang kita tidak berarti menolak semua yang Barat yang telah meresap dalam identitas kita. Bagaimanapun juga identitas kita adalah identitas yang hybrid (campuran). Tidak mungkin kita bersikap antikolonial, karena itu telah menjadi bagian dari diri kita. Yang diperlukan adalah sikap kritis terhadap bias yang disebabkan oleh hegemoni pengetahuan Barat yang menjadi diskursus dan memproduksikan makna pada kita ketika kita melihat realitas. Dari titik berangkat ini saya mengajak untuk menelusuri kehidupan dan ajaran Tunggul Wulung.

Penelusuran terhadap Tunggul Wulung secara khusus diarahkan untuk melihat penghayatan mistiknya mengenai kekristenan dalam bentuk ngelmu. Apa itu ngelmu? Setidaknya beberapa pemahaman dan konotasi berkaitan dengan mistik Jawa atau ngelmu. Pertama, ngelmu dipahami terkait dengan hikmat/kebijaksanaan yang menempatkan orang di tengah-tengah totalitas hidupnya dalam upaya pencarian keselarasan, keselamatan, dan kesempurnaan.[2] Dalam pengertian ini ngelmu berfungsi menunjukkan jalan hidup, sebagai sebuah hikmat kebenaran. Kedua, ngelmu dipahami sebagai pengalaman akan Tuhan. Dalam hal ini ngelmu terkait dengan pengalaman batin, sebagai upaya mengenal Tuhan secara batiniah, tidak sekedar pengetahuan nalar saja. Ngelmu berarti mengalami secara batiniah kehadiran Tuhan, suatu terang rohani yang Ilahi. Ketiga, ngelmu dimengerti dalam pengertian magic, di mana ngelmu menjadi kekuatan Ilahi yang diterima dan digunakan manusia. Dalam pengertian ini ngelmu dapat bermakna positif maupun negatif.[3] Secara positif ngelmu dipahami sebagai daya kekuatan Ilahi yang menggerakkan kehidupan untuk melindungi manusia dan untuk keperluan hidup manusia (ngelmu putih). Secara negatif, ngelmu dipakai untuk menyakiti orang lain melalui tenung dan guna-guna (ngelmu hitam). Dari semua pengertian itu, dapat disimpulkan bahwa ngelmu selalu mengaitkan diri dengan kuasa Ilahi untuk mendapatkan hikmat, pengalaman dan pengenalan batin dengan Tuhan, serta kekuatan untuk mengarungi hidup. Bentuk ngelmu seperti itu nantinya akan kita lihat dalam penghayatan dan ajaran kekristenan Tunggul Wulung.

Yang menarik dari Kyai Ibrahim Tunggul Wulung adalah penghayatan mistik tersebut terkait dengan semangat pembebasan terhadap kolonialisme pada Abad 19 di Jawa. Ini menjadi bukti bahwa penghayatan mistik tidak selalu dalam bentuk ketidakpedulian terhadap dunia yang ditampilkan dalam bentuk pengasingan diri dan penyangkalan diri yang berlebihan. Dorothe Soelle bahkan bisa menunjukkan bahwa mistisisme justru memiliki implikasi politis yang sangat kuat yang berupa perlawanan tanpa kekerasan dan pembebasan.[4] Penghayatan mistik bisa menjadi titik tolak dan kekuatan untuk pembebasan. Tidak sekedar pembebasan secara batin dalam bentuk pembebasan jiwa terhadap raga, tetapi juga pembebasan dari setiap bentuk perbudakan sosial. Konsep pembebasan itu tampak secara dominan dalam pemahaman mistik Kristen Jawa Tunggul Wulung. Memang dalam konteks Tunggul Wulung bisa didiskusikan sejauh mana peran mistisisme dalam gerakan pembebasannya. Apakah gerakan pembebasannya itu lebih didorong oleh konteks sosial politik waktu itu atau oleh penghayatan mistiknya? Terlepas dari yang mana yang lebih dominan, nampaknya baik konteks sosial politik maupun penghayatan mistik berpengaruh terhadap semangat pembebasan Tunggul Wulung yang terwujud dalam bentuk pengharapan mesianis Ratu Adil.

Mengenal Lebih Dekat Kyai Ibrahim Tunggul Wulung

–          Sosok dan asal-usul

Seperti apakah sosok yang bernama Kyai Ibrahim Tunggul Wulung itu? Memang secara pasti tidak diketahui. Tetapi Harthoorn mencitrakannya sebagai berikut: “Orang ini sungguh tampak luar biasa. Ia berperawakan tinggi dan ramping dengan penampilan yang mencolok (untuk ukuran orang Jawa), dengan sorot mata yang tajam dan hidung mancung. Ia pasti berkepribadian tangguh dan berani”.[5]

Asal usul Tunggul Wulung cukup misterius. Hal ini dikarenakan tidak ada bukti yang jelas mengenai latar belakangnya. Informasi tertulis mengenainya sangat terbatas. Menurut data tertulis dari Residen Jepara dicatat berdasarkan pengakuannya bahwa Ia bernama Kyai Ngabdollah, lahir di Bangsa, di kawedanan dan bagian Juana, tinggal di desa Sering dekat pegunungan Kelud Residensi Kediri. Oleh orang-orang di sekitarnya Ia dipanggil Kyai Tunggul Wulung.[6]

Tradisi lisan di sekitar Muria memberi gambaran yang lebih lengkap tentang Tunggul Wulung, meskipun sering kali cerita-cerita tersebut berbaur dengan sisi mitologi. Ini hal yang wajar bagi masyarakat Jawa di mana tokoh-tokoh besar selalu dikisahkan berbaur aspek mitologisnya untuk lebih menunjukkan kebesaran tokoh tersebut. Meskipun demikian, cerita-cerita tersebut tetap perlu dihargai karena toh di dalamnya termuat juga unsur-unsur historisnya. Menurut tradisi “daerah Muria” ini, Tunggul Wulung dulunya bernama Raden Mas Tondo dan Ia berasal dari golongan Kraton Solo.[7] Ia kemudian menjadi Demang di wilayah Kediri dengan gelar Raden Mas Demang Padmodirdjo. Sebagai Demang yang bekerja bagi Surakarta, Tunggul wulung dinilai tidak loyal pada pemerintah Surakarta karena melibatkan diri dalam perjuangan Diponegoro melawan kolonial sekitar tahun 1825-1830,  yang meluas di mana-mana di pulau Jawa ( disebut juga “Perang Jawa”).[8] Setelah perjuangan Pangeran Diponegoro berhasil dipatahkan Jenderal Hendrik Marcus de Kock, Raden Mas Demang Padmodirdjo terpaksa meninggalkan pekerjaan, keluarga dan daerahnya di Kediri supaya lolos dari kejaran pemerintah Kolonial Belanda. Untuk itu Ia membaur dengan masyarakat kecil di desa Ngalapan – Juwana yang dirasa cukup aman. Di sana  Ia merubah namanya dengan sebutan Amat Dullah, seperti pengakuannya kepada misionaris Jansz di Jepara, atau Ngabdullah seperti pengakuannya kepada Residen Jepara di atas. Di Nagalapan ini, Tunggul Wulung alias Ngabdullah alias Amat Dullah memperoleh kesuksesan, baik di bidang ekonomi maupun pengaruh di masyarakat.

– Hasrat Mencari ngelmu

Sebagai seorang Jawa, khususnya dari latar belakang Keraton, Amat Dullah tentu memiliki hasrat yang besar untuk memiliki ilmu-ilmu keselamatan sebagaimana yang dicari para pencari ngelmu Jawa pada umumnya. Ia mencoba menguasai ngelmu jayankawijayan (kesaktian), ngelmu gaib, ngelmu tentang sangkan paraning dumadi (asal usul segala sesuatu), primbon-primbon yang memuat perbintangan dan ramalan-ramalan tentang masa depan dunia yang bahagia berkat datangnya Ratu Adil yang saat itu berkembang luas di Jawa.

Namun dalam pencarian dan kesuksesan hidupnya itu Ia tidak merasakan ketentraman sehingga Ia memberikan seluruh hartanya pada orang lain sampai habis. Hal itu disebabkan anggapannya bahwa semua kekayaan dan harta miliknya itu menjadi belenggu hidupnya. Sehingga dengan kemiskinan yang dibuatnya sendiri Ia dapat bebas dari belenggu dan mendapatkan keterntraman. Namun melalui tindakannya itu ketentraman yang dicari tak kunjung datang dan malah membuat masalah baru dengan kemiskinannya itu. Akhirnya Ia memutuskan untuk meninggalkan Ngalapan-Juwana.

Dengan merampas kuda milik kontrolir Juwana, Ia melarikan diri ke arah barat kota dan sampai di Semarang Timur, tepatnya di desa Lo-Ireng dan singgah di rumah temannya. Di sinilah menurut kisah Tradisional, Ia berkenalan dengan kekristenan melalui temannya itu yang telah mengenal kekristenan melalui pelayanan Pendeta Bruckner dan kawan-kawannya dari misi NZG di Semarang.[9] Namun belum lama Ia tinggal di sana, Ia keburu ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda akibat dari tindakannya merampas kuda kontrolir Juana. Akibatnya Ia dijatuhi hukuman pembuangan di Sulawesi. Dalam perjalanan di Surabaya, Ia berhasil meloloskan diri dan lari ke Kediri, daerah yang sudah sangat dikenalnya. Ia naik ke Gunung Kelud untuk bertapa dan menyembunyikan diri. Karena memang Gunung Kelud sering dijadikan tempat bertapa para pencari ngelmu pada waktu itu.

Dalam pertapaannya itulah Amat Dullah memiliki sebutan dengan nama Tunggul Wulung. Mengapa Ia memakai nama Tunggul Wulung? Nama Tunggul Wulung bukan nama yang asing bagi masyarakat kediri dan sekitar Gunung Kelud, yang dengan demikian juga bukan nama yang asing bagi Amat Dullah. Nama Tunggul Wulung adalah nama seorang Jendral Agung Raja Joyoboyo yang memerintah kerajaan di Kediri pada Abad 12 (sekitar tahun 1150). Pada waktu itu Raja Joyoboyo memiliki seorang kanselir bernama Kyai Doho dan seorang Jendral bernama Tunggul Wulung. Di saat Raja Joyoboyo meninggal, kedua orang ini juga meninggal dan mereka menjadi roh-roh penjaga Kediri. Kyai Doho yang kemudian mendapat julukan sebagai Buto Locoyo berdiam di gua Selo Balo di atas Gunung Klotok (Anak Gunung Wilis, sebelah barat Kediri). Tunggul Wulung menjadi penjaga Gunung Kelud (timur Kediri) supaya letusan-letusannya tidak menghancurkan desa sekitar. Sebagai seorang pencari ngelmu dan dalam konteks masyarakat yang mengharap-harapkan kedatangan Ratu Adil sesuai ramalan Joyoboyo, tentulah Amat Dullah ingin mengidentifikasikan diri dengan kepercayaan sekitar Tunggul Wulung.[10] Sang Pertapa menganggap diri sebagai penjelmaan dari Sang Jendral dan roh pelindung Tunggul Wulung.

Di dalam pertapaannya, Ia bertemu dengan petapa wanita bernama Endang Sampurnawati yang menurut tradisi lisan merupakan anak dari Bupati Kediri yang juga sudah bersentuhan dengan kekristenan. Seperti pencari ngelmu pada umumnya mereka mengadu ilmu dengan suatu teka-teki. Teka-teki yang diajukan oleh  Endang Sampurnawati berbunyi sebagai berikut: “ana kemiri, tiba saiki, kena dijupuk dhek wingi” (ada buah kemiri, jatuh pada hari ini, tetapi sudah dapat diambil waktu kemarin). Sedangkan teka-teki  Tunggul Wulung berbunyi: “Ratu Adil mertamu, tamu mbagekake kang didayohi, sebiting tanpa sangu” (Ratu Adil datang sebagai tamu, tetapi justru sang tamu melayani tuan rumah, datang tanpa bekal apapun). [11] Baik Tunggul Wulung maupun Endang Sampurnawati berhasil menjawab dengan ini memiliki  jawaban yang sama, yaitu Yesus Kristus. Karena keduanya sama-sama berhasil menjawab dengan tepat, yang dengan demikian ilmu keduanya seimbang, sehingga mereka memutuskan untuk berdiri sama tinggi duduk sama rendah yang diwujudkan dalam pernikahan. Memang ada yang mengungkapkan bahwa mereka tidak menikah secara fisik, tetapi secara batin sehingga tidak memiliki keturunan dari pernikahan itu.

–          Menjadi Kristen

Tidak begitu mudah mengetahui proses kronologi perpindahan Tunggul Wulung ke dalam agama Kristen. Menurut buku harian Jansz pada tahun 1854, Tunggul Wulung mengaku kepada Jansz bahwa Ia mendalami kekristenan dari kesaksian seorang Kristen Jawa yang berasal dari daerah sekitar kelet (oleh Yoder diperkirakan dari pertapaan di Gunung Celering Jepara) yang pada saat itu ditemuinya di Surabaya.[12] Setelah perjumpaan itu kemungkinan besar Tunggul Wulung berupaya untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang agama Kristen yang akan membawanya pada Jellesma dan kemungkinan juga Emde di Surabaya.

Namun menurut tradisi lisan, hasrat Tunggul Wulung untuk belajar agama Kristen dikarenakan Ia menerima wangsit di gunung Kelud. Dikisahkan bahwa suatu saat Ia mendapatkan secarik kertas di bawah tikar tidurnya yang ternyata berisi ayat Kitab Suci Kristen berupa sepuluh perintah Tuhan (Keluaran 20). Yang mengejutkan bagi Tunggul Wulung bukan perintah-perintahnya, tetapi berita yang membangkitkan perasaannya sebagai seorang pencari ngelmu Jawa dan pencari kemerdekaan dari perbudakan.

Lalu Allah berbicara, dan inilah kata-kata-Nya: “Akulah TUHAN Allahmu yang membawa kamu keluar dari Mesir tempat kamu diperbudak. Jangan menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah Aku saja. Jangan membuat bagi dirimu patung yang meryerupai apa pun yang ada di langit, di bumi atau di dalam air di bawah bumi. Jangan menyembah patung semacam itu, karena Akulah TUHAN Allahmu, dan Aku tidak mau disamakan dengan apa pun….”[13]

Penemuan kertas tersebut diikuti dengan suatu wangsit yang menyuruh Tunggul Wulung untuk pergi ke arah Timur Laut untuk menemui seseorang yang mampu menjelaskan arti kata-kata dari apa yang dibaca di kertas tersebut. Demikian akhirnya Tunggul Wulung mengikuti wangsit tersebut dan bertemu dengan Jellesma di Mojowarno. Bersama dengan Endang Sampurnawati, Tunggul Wulung belajar kekristenan sebagai ngelmu baru dari Jellesma selama kurang lebih dua bulan.

Setelah pertemuannya dengan Jellesma, Tunggul Wulung melanjutkan petualangannya ke beberapa daerah. Ia mengunjungi orang-orang Kristen di Desa Belon dekat Ngoro, di mana di sana Ia memiliki pengaruh yang cukup besar. Juga Ia mengunjungi beberapa daerah lain di Jawa Timur di daerah Pelar, Jawa Tengah seperti Rembang, Salatiga, Semarang, Jepara. Dalam petualangannya itu Ia masih menetap di Pelar, Jawa Timut. Baru beberapa tahun kemudian Tunggul Wulung meninggalkan Pelar dan menetap di Jepara karena diminta membantu Sem Sampir, murid Jellesma yang membantu Jansz di Jepara. Tidak jelas apakah memang Ia meninggalkan Kediri dan menetap di Jepara karena alasan itu atau karena alasan ekonomi, atau mungkin karena Ia merasa tidak diperlakukan sebagaimana yang diinginkannya di sana.

– Membangun Komunitas Kristen di Jepara

Pertemuan Tunggul Wulung dengan Jansz di Jepara (desa Cumbring) terjadi pada tanggal 11 Januari 1854 di saat jansz baru 2 tahun melayani di sana. Namun di antara keduanya akhirnya terjadi perbedaan yang cukup tajam. Jansz menghendaki supaya Tunggul Wulung belajar lebih dalam lagi tentang kekristenan kepadanya dan kemudian dibaptis baru kemudian nantinya bisa menjadi “pembantunya” mengabarkan Injil di daerah Muria. Bagi seorang Kyai ngelmu yang sekian lama berpengharapan bebas dari kolonial, menjadi pembantu Jansz  jelas  merupakan tawaran yang tidak menarik. Akhirnya dengan surat dari Jansz, Ia kembali lagi ke Mojowarno untuk menemui Jellesma. Di Mojowarno Ia dibaptis Jellesma, mungkin sekitar tahun 1855, sesuatu yang sangat disayangkan oleh Jansz. Melalui pembaptisan itu, Ia mendapat imbuhan nama Ibrahim.

Ia memilih nama Ibrahim karena memiliki makna simbolis, yaitu Abraham yang menjadi bapa banyak bangsa, demikian juga Tunggul Wulung ingin menjadi bapa juga bagi orang banyak.[14] Tetapi nampaknya ini ada benarnya juga, di mana Abraham membentuk suatu komunitas yang baru, semacam komunitas Alternatif, demikian juga akhirnya Ibrahim Tunggul Wulung membentuk komunitas baru, komunitas alternatif dalam sebuah “kerajaan” Bondo Jepara. Ini sekaligus menjadi visi kekristenan ala Tunggul Wulung yang sedikit banyak didasarkan dari pengharapan mesianis kedatangan Ratu Adil. Bagi Tunggul Wulung orang-orang yang sudah menjadi Kristen perlu dikumpulkan menjadi komunitas baru dengan membuka desa baru melalui “babat alas”. Komunitas baru ini kemudian menjadi komunitas yang merdeka yang tidak di bawah kekuasaan kolonial. Visi ini nantinya terkait dengan visi pembebasan Tunggul Wulung yang akan kita bahas di bagian selanjutnya. Yang jelas, visi Tunggul Wulung ini ditolak oleh Jansz yang beralasan bahwa seharusnya orang-orang yang sudah menjadi Kristen tidak mengasingkan diri karena dengan demikian tidak bisa berperan sebagai garam dan terang Kristus.[15] Perbedaan visi ini yang selanjutnya menjadi pertentangan antara Tunggul Wulung dan P. Jansz.

Setelah dibaptis, Ia kembali lagi ke Jepara dan tinggal di Desa Bondo. Di sana Kyai Ibrahim Tunggul memiliki pengaruh yang besar bagi orang-orang di sekitarnya. Namun sesuai dengan sifatnya yang dinamis, Ia sering kali ke luar daerah dan membuka desa-desa baru di daerah utara Tayu, di antaranya adalah Desa Ujung Jati di mana Endang Sampurnawati akhirnya menetap di sana. Yang jelas melalui penginjilannya waktu itu, Tunggul Wulung berhasil mengumpulkan banyak murid. Bahkan murid-murid dari Jansz pun banyak yang tertarik untuk mengikuti Tunggul Wulung.

Meskipun ada beberapa desa yang dibuka oleh Tunggul Wulung, namun akhirnya Ia menetap di Bondo. Setelah muridnya semakin banyak, visi Kristen Jawa dari Tunggul Wulung pun semakin jelas. Ia menyebut jemaatnya sebagai orang Kristen Jowo untuk membedakan dengan jemaat Jansz yang disebutnya sebagai orang Kristen Londo. Memang sejak Ia dibaptis, bahkan juga sebelum dibaptis, Tunggul Wulung secara tegas mempertahankan pemahaman Kristen Jawanya dalam penginjilan. Dapat dikatakan Ia berani menyejajarkan diri dengan Kristen Belanda, termasuk dalam hal pengajaran. Ia menghayati kemerdekaannya sebagai misionaris Jawa dan dikatakan tidak pernah bergantung dari misionaris Barat sebagai pembantu mereka. Menurut Tunggul Wulung bangsa yang menjadi Kristen harus mempunyai pemimpinnya sendiri. Adalah keliru bila orang Jawa  menggabung pada misionaris Belanda dan kemudian bercorak Belanda.[16] Dan memang dalam hal ini, Ia memosisikan diri sebagai pemimpin jemaat Kristen Jawa yang dibentuknya.

Untuk mewujudkan visinya, Tunggul Wulung semakin aktif mencari murid-murid baru sampai ke daerah-daerah lain. Sekitar tahun 1886 Ia pergi ke Semarang dan berhasil mengumpulkan pengagum-pengagum baru di bawah pimpinan Sis Kanoman yang dulunya pernah dikalahkan Tunggul Wulung dalam sebuah adu ngelmu. Para pengagum dan pengikut baru ini pada tahun 1887 hijrah ke Bondo sekitar 16 keluarga. Di antara yang ikut ke Bondo adalah Sadrach atau Radin Abas. Selain itu Tunggul Wulung juga membawa orang-orang baru dari daerah Juana dan sekitarnya untuk ikut ke Bondo. Jadi nampaknya memang Bondo memiliki arti khusus bagi Tunggul Wulung. Namun orang-orang baru di bawah pimpinan Sis Kanoman dan Sadrach itu tidak bertahan lama di Bondo karena merasa tidak cocok dengan orang-orang di Bondo. Oleh karena itu sebagian dari mereka kembali pulang ke Semarang dan sebagian lagi menetap di Dukuhseti dan Banyutowo, dua desa yang juga dibuka oleh jemaat Tunggul Wulung.

Dalam perkembangan selanjutnya, memang sering terjadi dinamika antara jemaat Kristen Jawa Tunggul Wulung dengan kelompok Zending. Lemahnya penerus Tunggul Wulung yang merupakan anak dan cucunya membuat kelompok Kristen Jawa mengalami kemandegan. Apalagi setelah sepeninggal Tunggul Wulung pada tahun 1885, jemaat-jemaat Tunggul Wulung akhirnya bergabung dengan Zending. Biar pun demikian Tunggul Wulung berkeyakinan bahwa suatu ketika nanti keturunannya pasti akan merebut kembali “kuasa” gereja dari bangsa asing. Misionaris nantinya akan minggir memberi tempat pada pemimpin-pemimpin pribumi. Lewat cucu dan cicitnya inilah Tunggul Wulung akan mendapat kemenangannya.[17] Semasa hidup dan pelayanannya Tunggul Wulung berhasil mengumpulkan 1058 anggota.[18] Jauh lebih besar dibandingkan Jansz yang mengumpulkan 150 anggota. Tentu ini menjadi catatan berharga tentang kebesaran Rasul Jawa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung.

Ajaran Mistik Kristen Jawa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung

–          Ngelmu Pembebasan

Keberhasilan Tunggul Wulung memperoleh banyak pengikut tidak bisa lepas dari cara dan pemahamannya yang familiar bagi masyarakat jawa, yaitu dengan ngelmu. Hal ini bisa jadi terkait dengan asal-usul Tunggul Wulung sebagai bangsawan yang masuk dalam lingkungan keraton Surakarta, di mana bentuk Islam Jawa yang sinkretistik terpelihara di sana.[19] Prestasi Tunggul Wulung dalam berpetualang dan mengalahkan banyak orang dalam suatu adu ngelmu turut berperan menjadikannya tokoh kharismatik yang dicari banyak orang.

Orang jawa memahami bahwa tidak ada perbedaan hakikat dalam ngelmu. Ngelmu baru pada hakikatnya tidak berbeda dengan ngelmu lama. Hanya saja yang baru dilihat lebih tinggi dari pada yang lama. Demikian juga ngelmu Kristen tidak berbeda dengan ngelmu Jawa yang selama ini dipegang, namun dipahami lebih tinggi sehingga mereka mengikuti ngelmu Kristen ini. Penyebaran ngelmu Kristen itu sendiripun dilakukan dengan spontan melalui tukar kawruh “perdebatan ngelmu” yang biasa terjadi di masyarakat jawa. Dalam hal ini, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung banyak memiliki kesamaan dengan penyebar Islam Jawa.[20]

Selain cara yang kontekstual, hal lain yang membuat pekerjaan Tunggul Wulung berhasil adalah isi ajarannya yang juga kontekstual. Terjadi penekanan yang berbeda antara Tunggul Wulung dan Jansz. Jansz dari misi Mennonite Belanda menekankan karya Kristus sebagai pembebasan dosa-dosa manusia sehingga keselamatan berarti manusia dilepaskan dari hukuman maut. Hal itu kurang mengena bagi orang-orang Jawa pada waktu itu. Yang menakutkan bagi orang Jawa pada waktu itu bukan penghukuman akibat dosa, tetapi kuasa-kuasa jahat yang ada di sekitar, setan-setan, tenung, dan ngelmu-ngelmu jahat. Pembebasan yang mereka butuhkan bukan semata pembebasan dari dosa, tetapi pembebasan dari kekuatan-kekuatan kolonial seperti kerja paksa dan perbudakan yang melanda masyarakat Jawa saat itu. Dengan demikian, keselamatan yang relevan bagi orang Jawa saat itu adalah pembebasan dari roh-roh jahat dan pembebasan dari kerja paksa! Pembebasan itu dimengerti Tunggul Wulung ada dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu banyak diceritakan mengenai kesaktian orang-orang Kristen baru yang berhasil menaklukkan tempat-tempat yang dinilai angker.

Untuk itu, Tunggul Wulung juga mengajarkan rapal-rapal atau mantra Kristen kepada jemaatnya. Ini tentu mirip dengan orang-orang Islam Jawa. Rapal-rapal itu mereka gunakan untuk menolong diri dari gangguan-gangguan jahat dari roh-roh maupun tempat-tempat keramat. Rapal yang digunakan komunitas Tunggul Wulung di Bondo dan di Banyutowo berbunyi demikian:

Bapa Allah, Putra Allah, Roh Suci Allah,

telu-telune tunggal dadi sawiji.

Lemah sangar kayu angker

upas racun pada tawa.

Idi Gusti manggih slamet salaminya.[21]

(Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Suci,

ketiganya adalah satu.

Daerah yang berbahaya, pohon-pohonan yang jahat,

segala racun akan menjadi tawar,

berkat rahmat Tuhan,

menemukan keselamatan selamanya.)

Dengan rapal ini, semua pekerjaan diawali. Entah itu bertani, bercocok tanam, bekerja, dan sebagainya. Selain rapal tersebut, ada juga rapal lain yang dipakai untuk membuka desa yang terkenal angker. Penggunaannya melalui ritual di mana setiap malam jumat kliwon Tunggul Wulung dan para pengikutnya bertelanjang bulat dan membawa obor masing-masing, berjalan beriring mengelilingi pedukuhan sebanyak tiga kali dalam semalam sambil mengucapkan doa rapal secara terus-menerus berikut ini:

Ancak-ancak ali-ali, si ali kebo janggitan,

anak-anak kebo dungkul,

si dungkul kapan gawene,

tiga-rendeng.

Anjang-anjang gubug bala,

unine gerenteng cepluk.[22]

–          Pokok-pokok Pengajaran dan Kebaktian

Tunggul Wulung tidak menekankan ajaran yang rumit kepada jemaatnya. Pokok kepercayaan utamanya adalah Yesus sebagai juru keselamatan. Hal-hal lain adalah semacam tambahan saja. Yang diajarkan kepada jemaatnya adalah Pujan (Doa Bapa Kami), pangandel (Pengakuan Iman Rasuli), dan racikan sedasa perkawis (Dasa Titah). Bila jemaat sudah bisa menghafalkan itu sudah cukup. Memang pengajaran Tunggul Wulung terkesan sederhana dan itu tentu dinilai tidak cukup oleh Jansz. Namun justru di dalam kesederhanaan itu nampaknya Tunggul Wulung dan jemaatnya bisa menghayati dengan lebih mendalam dari pada Jansz yang dilatarbelakangi teologi pietis Eropa. Dasa Titah dan Doa Bapa Kami dihayati oleh Tunggul Wulung terkait dengan pengharapan pembebasan! Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa pernyataan Dasa Titah yang diawali pernyataan “Akulah TUHAN Allahmu yang telah membawa kalian keluar dari Mesir di mana kalian diperbudak. Sembahlah Aku saja”, begitu bermakna dalam pertobatan Tunggul Wulung. Allah dimaknai sebagai Allah pembebas dari segala perbudakan. Dalam konteks masyarakat Jawa waktu itu, Allah Sang Pembebas ini tentunya yang dinanti-nantikan mereka. Demikian juga dengan Doa Bapa Kami yang menyerukan agar Allah sendiri datang untuk memerintah sebagai raja dengan menjadikan kehendak-Nya terlaksana di bumi seperti di Surga. Ini tentu sesuai dengan pengharapan kehadiran Ratu Adil yang memerintah Jawa dan membebaskan mereka dari perbudakan dan kerja paksa. Jadi ternyata tidak semata-mata ajaran yang dihafal dipahami secara pengetahuan saja. Di dalam ajaran-ajaran itu Tunggul Wulung dan jemaatnya justru menemukan nilai teologis yang menjawab kebutuhan mereka, sebagai jawaban atas berbagai penderitaan dan penindasan yang dialami orang Jawa.

Memang kemudian ada kesan pengajaran sederhana Tunggul Wulung itu bentuknya mirip dengan Islam. Ada pengakuan  Iman (sahadad), Doa Bapa Kami (alfatihah), dan Dasa Titah (rukun Islam). Mengenai kedekatan dengan bentuk Islam memang harus diakui, karena memang Islam, khususnya Islam Jawa, lebih dulu mereka terima. Pengajaran dengan menghafal pun dimaknai sebagai ngaji Kristen, yang memang semula bermakna belajar. Mungkin itu dilakukan dengan sengaja sebagai tandingan bagi Islam pada waktu itu, atau memang karena itu yang diketahui oleh Tunggul Wulung dan jemaatnya. Kemiripan dengan Islam semakin jelas dengan pengadopsian tahlilan Islam menjadi Kristen melalui pengubahan pelafalan sebagaimana yang dilakukan Coolen di Jawa Timur. “la illah la illalah, Yesus Kristus Putra Allah”.[23] Selain itu praktik-praktik ritual seperti slametan, kenduri, maupun sunat tidak pernah dilarang oleh Tunggul Wulung.

Tempat jemaat berkumpul disebut sebagai “masjid” dan Tunggul Wulung pun tidak memaksakan harus dengan nama gereja. Mereka berkumpul layaknya pertemuan kejawen dengan nyanyian yang dikarang Poesen maupun yang dikarang Tunggul Wulung sendiri. Di antara nyayian yang mereka nyanyikan berbunyi sebaga berikut[24]:

2/4

1=                    /1  2 / 3 2 1 / 2 3 2 1 / 2 3 1

Duh Ye-sus Ra – tu – ning ge-sang

. 5 / 1 3 / 2 . 1 / 2 1 6 / 5

Pu–tra-ni- pun Al – lah ing-kang

. 5 / 1 3 / 2 . 5 / 1 3 / 5

sampun ngawon kenging pejah

. 3 / 3  5 / 3 . 2 / 1 2 / 1

sa- wer Tu-wan re -muk si- rah

. 1 / 3 3 / 2 1 2 / 3 3 / 1

na- li- ka  ja- man pines- thi

. 5 / 1 3 / 2 . 1 / 2 1 6 / 5

Tu- wan ing kang a  ne te- pi

. 5 / 1 3 / 2 . 1 / 2 3 / 5

jan ji  ne Al lah kang se tya

. 3 / 3 5 / 3 . 2 / 1 2 / 1

mi tu  lu  ngi  ti yang nis tha

. 1 / 3 3 / 2 1 2 / 3 3 / 1

de saking swar ga tu me dhak

. 5 / 1 3 / 2 . 1 / 2 1 6 / 5

ka da mel kur ban ing pa nrak

(Ya Yesus raja kehidupan

Anak Allah yang sudah mengalahkan maut

Ular Tuhan remukkan kepalanya

Ketika telah tiba waktunya

Tuhan menggenapi janji Allah yang setia

Menolong manusia hina

Sehingga turun dari sorga

Dijadikan korban atas pelanggaran)

–          Pemahaman Secara Metaforis

Sebagai seorang penggemar ngelmu, Tunggul Wulung melihat firman Tuhan secara metafora. Menurutnya, firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab bukan sesuatu yang harus diterima secara hurufiah. Firman itu merupakan kiasan yang harus dicari maknanya masing-masing. Misalkan firman Khotbah di bukit (Matius 5) mengenai “mewarisi bumi”, Tunggul Wulung mengartikan bahwa orang-orang Kristen harus bebas dari kerja paksa pemerintah. Sedangkan “berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah” Tunggul Wulung cenderung untuk mengartikannya kemiskinan  sebagai tanda bagi “yang berbahagia”. Jadi orang Kristen akan berbahagia apabila orang Kristen itu miskin dalam harta dan benda.[25] Hal ini telah diyakini dan dijalani oleh Tunggul Wulung sendiri. Ia sama sekali tidak mau menjalankan kerja paksa. Bahkan keputusannya untuk membuka desa yang jauh dari masyarakat kemungkinan besar merupakan upayanya untuk menghindarkan pengikut-pengikutnya dari kerja paksa pemerintah. Dalam hal materi, Tunggul Wulung juga tidak memiliki kekayakan. Dia diceritakan hanya memiliki beberapa pusaka saja dan makannya ditanggung oleh para pengikutnya.

perjamuanPemahaman Firman Tuhan secara metaforis-mistis ini diberlakukan juga dalam memahami Kristus. Kristus tidak sekedar dimaknai secara historis tetapi juga secara rohani. Oleh karena itu Tunggul Wulung pun menganjurkan jemaatnya supaya menemukan Kristusnya sendiri-sendiri.[26] Bahkan oleh pengikutnya, Tunggul Wulung dipercayai sebagai Kristus yang nampak atau sebagai penjelmaan oleh Kristus sendiri yang akan menyatakan diri beberapa waktu yang akan datang. Menurut laporan misionaris Jansz, Tunggul Wulung sendiri telah menyatakan diri sebagai Kanjeng Rama Ana, yang mempunyai arti sama dengan Allah Bapa Yang Ada atau Allah Bapa yang Hadir di sini.[27]

Kalau diperhatikan, sebenarnya ungkapan-ungkapan di mana Tuhan dimaknai sebagai yang hadir dalam diri seseorang tidak menjadi masalah dalam tradisi mistik. Kristus dimaknai secara rohani dan tidak semata historis merupakan bentuk dari sebuah penafsiran mistik. Sebutan Kanjeng Rama Ana terhadap Tunggul Wulung tidak perlu dilihat sebagai penyamaan dirinya dengan Allah. Sadrach pun sering kali memakai gelar seperti “kanjeng”, “Panutan”, “gusti”, dan “Bapa”. Gelar-gelar ini pun tidak serta merta dimaknai sebagai identifikasi diri dengan Tuhan.

–          Pengharapan Ratu Adil

Berdasarkan laporan pembantu-pembantu misionaris, di kalangan jemaat Tunggul Wulung sedang hangat membicarakan ramalan Joyoboyo tentang datangnya Ratu Adil di Jawa yang akan mengusir orang Prenggi (Prenggi = Perancis= Eropa) dan mendirikan kerajaan Jawa yang merdeka.[28] Komunitas-komunitas yang dibentuk Tunggul Wulung mengharapkan bahwa kerajaan itu didirikan di tempat mereka masing-masing, baik itu di Bondo maupun di Banyutowo. Tidak diketahui apakah mereka memiliki pengharapan itu dari Tunggul Wulung atau dari luar. Tetapi besar kemungkinan pengharapan itu merupakan pengharapan yang sudah umum di kalangan masyarakat dan mendapat pengabsahan dari visi Tunggul Wulung sendiri. Pembukaan desa-desa baru sebagai sarana membangun jemaat Kristen Jawa yang merdeka merupakan bentuk dari perwujudan visi Tunggul Wulung tersebut, di mana Bondo dapat dikatakan menjadi “kerajaan” merdeka, suatu Yerusalem baru![29] Mereka percaya bahwa Ratu Adil akan datang pada waktu mereka masih hidup, sehingga merekalah yang akan menjadi penyambut Ratu Adil. Dengan demikian mereka akan menjadi murid-murid yang utama dan penghuni yang terhormat Kerajaan Seribu Tahun. Dampaknya mereka tidak perlu takut lagi dengan bayang-bayang kerja paksa Belanda, karena kedatangan Ratu Adil akan mengusir si Prenggi dari Jawa dan Jawa akan mengecap kemerdekaannya kembali.

Tunggul Wulung diharapkan mampu memenuhi harapan mereka, di mana Tunggul Wulung menjadi perwujudan Ratu Adil. Sayang sekali Tunggul Wulung tidak dapat memenuhi harapan mereka. Pada tanggal 29 April 1885  Tunggul Wulung wafat dan dimakamkan di Bondo.[30] Hal itu cukup membuat goncang para pengikutnya. Namun mereka kemudian membuat pemaknaan baru mengenai Ratu Adil. Mereka ingat dengan cerita-verita mengenai Kristus yang menjanjikan kerajaan surga, tetapi sampai wafatnya Dia tidak mewujudkan Kerajaan tersebut dalam wujud jasmani. Baru sesudah bangkit dari antara orang mati, Kristus menggenapi janji-Nya. Demikian juga Tunggul Wulung. Ia sebenarnya tidak meninggal, tetapi hilang beserta tubuh jasmaninya (moksha), dan akan datang kembali untuk mendirikan Kerajaan Seribu Tahun-nya. Yesus merupakan Kristusnya orang Yahudi, sedang Tunggul Wulung adalah Kristus mereka, Kristusnya orang Jawa. Untuk memperkuat itu, disiarkanyalah kabar bahwa yang dimakamkan di Bondo hanyalah tongkat Tunggul Wulung. Rustiman, salah seorang cucu Tunggul Wulung dari Kediri, dikabarkan telah membuktikan sendiri—seperti pesan Tunggul Wulung sebelum meninggal supaya Rustiman menggali kubur kakeknya itu sesudah hari yang ke tujuh, dan memang hanya menjumpai tongkatnya saja.[31]

Sepeninggal Tungul Wulung memang jemaatnya mengalami kemandegan. Bukannya tidak ada regenerasi, regenerasi sudah disiapkan oleh Tunggul Wulung dengan menyiapkan tiga anak angkatnya, yaitu Rustiman, Talidjo, dan Tardjo. Yang menarik adalah Tunggul Wulung menyiapkan mereka dengan mengirim mereka ke pendidikan Mennonite. Jadi ada kesan Tunggul Wulung sedikit lunak terhadap Zending. Namun justru para pengikutnya yang keberatan dengan kedekatan terhadap zending tersebut. Penolakan sebagian besar jemaat terhadap pengangkatan Rustiman adalah karena kedekatannya dengan badan zending Mennonite. Apalagi pada waktu itu Rustiman usianya masih begitu muda untuk ukuran pemimpin dan pastinya kalah kharisma dibanding dengan Tunggul Wulung. Persaingan untuk memuncaki kepemimpinan yang berujung pada beberapa perpecahan turut andil dalam kemandegan jemaat Tunggul Wulung. Akhirnya komunitas-komunitas Tunggul Wulung bergabung dengan zending Mennonite. Hanya ada beberapa keluarga kecil di Banyutowo yang tidak mau bergabung. Mereka menamakan diri sebagai “jemaat Kerasulan”. Dikabarkan sampai abad 20 mereka masih ada namun akhirnya punah.

Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan Semangat Pembebasan

Pengharapan mesianik Ratu Adil membuat gerakan Tunggul Wulung bersama dengan komunitasnya dapat dimaknai sebagai gerakan pembebasan yang pada waktu itu memang berkembang di Jawa. Gerakan mesianik yang ada pada waktu itu antara lain[32]: perjuangan Pangeran Diponegoro dengan gelar Erucakra (1825-1830) di Jawa Tengah yang dikisahkan menerima wahyu dari Ratu Adil sendiri supaya mengusir penguasa asing dari Jawa. Karena dampaknya yang cukup luas, perjuangan Diponegoro juga sering dikenal sebagai “perang Jawa. Di Blitar, Jawa Timur, pada tahun 1888 juga terjadi pergerakan Ratu Adilisme di bawah pimpinan Jasmani yang akan dinobatkan sebagai Sultan dengan nama Sultan Erucakra. lalu ada juga gerakan yang sama dalam peristiwa Mangkuwijaya tahun 1865, peristiwa Imam Sujana tahun 1886, gerakan Malangyuda di Banyumas, kasus Pulung di Madiun tahun 1886, dan kasus Srikaton. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada abad 19, semangat perlawanan terhadap kolonial atas dasar pengharapan Ratu Adil cukup meluas. Oleh karena itu untuk memahami pemikiran dan hidup Kyai Ibrahim Tunggul Wulung perlu juga dilihat dalam bingkai semangat mesianik Jawa tersebut.

Gerakan mesianik Jawa berkembang pada waktu itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor sosial ekonomi yang buruk dan faktor kultural. Beberapa daerah di Jawa Tengah sangat menderita karena tertimpa kerusakan pada waktu terjadi perang Diponegoro atau perang Jawa yang berimbas pada semakin sulitnya kondisi perekonomian. Selain itu kesulitan sosial-ekonomi juga terjadi sebagai akibat dari diberlakukannya “kultuurstelsel” (1833-1867), yaitu peraturan perkebunan negara dengan cara kerja paksa. Di daerah Jepara sampai Rembang dicoba beberapa perkebunan di mana rakyat dipaksa bekerja dengan bayaran yang paling rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Bila mengalami kegagalan panen, selalu yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Semua kesulitan itu mendorong orang untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Sehingga besar kemungkinan kesulitan ekonomi inilah yang menjadi alasan kelompok orang-orang di Semarang dan Sekitar Juwana bertransmigrasi ke desa-desa yang dibuka Tunggul Wulung, yaitu di Bondo dan Banyutowo.[33] Situasi sosial ekonomi yang buruk itupun kemudian menjadi lahan subur bagi munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang kemudian menjadi gerakan perlawanan yang radikal dan revolusioner.

Faktor kultural yang mendorong tumbuhnya gerakan mesianik Jawa terkait dengan kehadiran Belanda yang menjadi ancaman nilai-nilai tradisional Jawa.[34] Dalam menghadapi ini ternyata ada dua sikap yang berbeda di kalangan para priyayi birokrat dengan para pimpinan tradisional jawa yang meliputi para guru agama tradisional, Kyai dan guru yang masih terikat pada tradisi. Para priyayi pada umumnya lebih moderat dan bisa menyesuaikan diri dengan situasi baru di mana mereka juga diuntungkan dalam pemerintahan. Sebaliknya para pemimpin tradisional seperti guru ngelmu maupun guru agama tradisional merupakan tokoh konservatif yang secara kuat menentang penyusupan Barat secara kultural.[35]

Berangkat dari krisis sosial-ekonomi-kultural seperti itu bisa jadi Tunggul Wulung merasa terpanggil mewujudkan kerajaan Ratu Adil di Jawa. Tunggul Wulung mencoba mewujudkan visi pembebasannya dengan membuat komunitas-komunitas baru di Bondo dan sekitarnya. Komunitas tersebut merupakan komunitas yang merdeka, lepas dari kerja paksa Belanda. Dari ajaran-ajarannya bisa dilihat dengan jelas visi teologis dan pengharapan mesianik dalam wujud kehadiran Ratu Adil yang akan membawa pembebasan rakyat dari berbagai penindasan dan pungutan pajak. Hal itu disaksikan oleh Jellesma yang menyatakan bahwa pernah suatu ketika Tunggul Wulung berniat mendirikan suatu desa Kristen semacam Ngoro di suatu tanah swasta di Sidokare, Karisidenan Kediri. Di situ penduduk akan “bebas dari pekerjaan untuk pemerintah selama tiga puluh tahun”.[36]

Dari sisi kultural, Tunggul Wulung juga berani berlaku bebas dan merdeka, setidaknya  terhadap apa yang lazim dilakukan orang kepada Belanda. Di antaranya Ia tidak mengikuti aturan pakaian yang diberlakukan untuk orang Jawa yang menyebabkan Ia ditegur oleh asisten-residen Jepara melalui Jansz.[37] Terhadap utusan-utusan Injil Barat atau para misionaris Zending, Tunggul Wulung bersikap tegar dan Ia tetap memegang martabatnya sebagai seorang priyayi-guru. Dalam arti ketika bertemu dengan misionaris asing, Ia berdiri tegak tidak menjongkok atau berlutut di lantai dihadapan utusan Injil seperti lazimnya kebiasaan di antara orang Jawa.[38] Sikap demikian di mata orang Belanda tentu dipahami sebagai sebuah sikap membangkang dari seorang pribumi. Sikap yang demikian juga yang dapat dijumpai pada diri Kyai Sadrach yang tergambar secara fotografis duduk bersama dengan J.Wilhelm, seorang Zendeling Belanda.

Refleksi Atas Mistisisme dan Pembebasan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung

Rasanya tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa ajaran dan pemahaman Tunggul Wulung mengenai kekristenan Jawa merupakan bentuk penghayatan kontekstual kekristenan. Apa yang dilakukan oleh Tunggul Wulung tidak semata upaya kontekstualisasi sehingga kekristenan bisa diterima oleh masyarakat Jawa. Tetapi lebih dari itu, Tunggul Wulung menghayati kekristenan dari titik tolak kejawaannya. Sebagai orang Jawa yang hidup dalam suasana pengharapan Jawa, Ia membangun kekristenan Jawa di mana kejawaan menjadi perspektif untuk menghayati Injil. Setidaknya ada dua konteks yang menjadi titik pijak penghayatan kekristenan Tunggul Wulung, yaitu konteks ngelmu Jawa dan konteks pengharapan mesianik Ratu Adil.

Bentuk kekristenan yang khas Jawa ini bisa dilihat dari praktik-praktik yang diajarkan seperti adanya rapal-rapal, ngaji secara Kristen, tahlilan yang memang secara familiar dipahami oleh orang Jawa. Firman Tuhan atau Alkitab pun dibaca dari sudut pandang Jawa, khususnya secara mistis khas ngelmu Jawa. Sangat menarik bahwa dalam penghayatan Firman Allah itu (pembacaan Alkitab) ada sebuah “horizon of expectation” yang membuat Firman itu bermakna bagi komunitasnya, yang dalam komunitas Tunggul Wulung berupa pembebasan Ratu Adil. Sehingga ajaran-ajaran Tunggul Wulung sering kali dikritik oleh Jansz maupun para zendeling yang membawa corak kekristenan Eropa. Akibatnya Tunggul Wulung dinilai melakukan sinkretisme dengan kepercayaan Jawa yang sebelumnya dianut yang dengan demikian menunjukkan bahwa Ia belum benar-benar bertobat. Nampaknya konsep ini juga menurun pada generasi sekarang.

Tetapi yang perlu dipertanyakan adalah apakah apa yang dilakukan tunggul Wulung, seandainya itu dinilai sebagai sinkretisme, harus dipahami sebagai sebuah penyelewengan? Masalahnya adalah istilah sinkretisme selalu diidentikkan sebagai sebuah wacana negatif. Sehingga ketika mendengar istilah sinkretisme orang menjadi takut dan menuduh sebagai sebuah penyelewengan. Seharusnya mengenai sinkretisme perlu disikapi secara lebih jujur. Menurut Gerrit Singgih, sinkretisme memang bisa memiliki arti negatif dan positif.[39] Memiliki arti negatif bila sinkretisme dipahami sebagai pencampuradukan berbagai hal secara ceroboh sesuai keinginannya untuk pemuasan keinginan manusia saja. Dalam hal ini tentu kita akan menolaknya. Tetapi sinkretisme juga bisa berkonotasi positif sebagai suatu bentuk perpaduan atau mendamaikan hal yang berbeda. Dalam konteks penghayatan iman ataupun beragama, hal ini tidak dapat dihindarkan. Setiap agama, atau lebih tepatnya setiap penghayatan iman, selalu hadir dalam situasi historis tententu yang mana situasi historis tersebut akan berpengaruh dalam perumusan dan penghayatan iman atau agama seseorang. Agama dan teologi bukanlah sesuatu yang mengkristal secara kaku tetapi selalu dinamis dalam proses menjadi. Oleh karena itu selalu ada banyak warna teologi, warna penghayatan iman dalam berbagai konteks yang berbeda.

Dalam konteks Tunggul Wulung, tuduhan bahwa ajarannya merupakan penyimpangan kekristenan disebabkan oleh pemahaman orang yang memahami kekristenan yang benar adalah kekristenan Eropa. Tuduhan-tuduhan ini dilontarkan oleh para zendeling maupun generasi sekarang yang berpegang teguh pada kebenaran ajaran Kristen ala Eropa. Mungkin mereka tidak sadar bahwa teologi atau ajaran yang dibawa para misionaris juga merupakan bentuk sinkretisme kekristenan dengan alam pikir Eropa, Injil yang dihayati dalam perspektif dan titik tolak Eropa. Lalu apakah Tunggul Wulung sebagai orang Jawa dengan latar belakang kejawaannya yang telah dihidupinya sekian lama tidak punya hak yang sama untuk membangun suatu kekristenan Jawa?

Ngelmu Kristen

Tunggul Wulung menghayati kekristenan secara mistik dalam bentuk ngelmu. Tidak hanya sekedar ngelmu hikmat tetapi juga ngelmu “magis”. Hal itu bisa dilihat dalam rapal-rapal dan doa-doa yang dimaknai sebagai sesuatu yang sakti yang mampu mengalahkan kuasa-kuasa jahat ketika membuka desa baru. Ini tentu sesuatu yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan maupun alam pikir Jawa. Memang dalam hal ini pun bisa timbul kontroversi, khususnya dari kalangan Kristen Eropa yang asing dengan tata cara semacam itu. Tunggul Wulung bisa saja dituduh tidak sungguh bertobat dengan masih “bergaul” dengan hal-hal mistis (klenik) Jawa tersebut. Pemahaman semacam ini didorong semangat pertentangan dengan budaya, di mana kebudayaan lokal dimaknai secara negatif sehingga ketika seseorang menjadi Kristen, Ia harus meninggalkan kebudayaannya dan masuk ke dalam kebudayaan Kristen. Kalangan pietis Eropa dulu, termasuk kalangan Mennonite Belanda tentunya, berada dalam kerangka paham seperti itu.

Tanpa bermaksud membela “mati-matian” terhadap Tunggul Wulung, nampaknya tuduhan dan kesan negatif terhadap Tunggul Wulung agak meleset dari sasaran. Hal itu dikarenakan masing-masing memiliki titik tolak yang berbeda dalam menghayati kekristenan. Kekristenan Eropa tentu berpijak dari cara pandang orang Eropa terhadap dunia, di mana pengajaran iman (ortodoksi) lebih ditekankan. Tunggul Wulung dalam keterbatasan pengetahuan ortodoksi kekristenan Eropa mencoba menghayati kekristenan sebagai sesuatu yang bermakna sesuai dengan horison pengharapannya sebagai seorang pencari ngelmu. Dan tidak boleh dilupakan bahwa Ia mengenal kekristenan juga dalam rangka Ia mencari ngelmu. Sehingga wajar bila Ia memahami bahwa Injil merupakan ngelmu tertinggi dari semua yang Ia cari. Justru dengan demikian Injil menjadi begitu bermakna secara dominan bagi Tunggul Wulung. Karena jika Injil bukan ngelmu tertinggi, Ia pasti tidak akan beralih mengikutinya. Jadi dengan kata lain, melalui ngelmu Ia menemukan Injil, sehingga dengan ngelmu juga Ia menghayati Injil! Di sinilah kita melihat ketakterbatasan Injil yang dapat menyentuh setiap orang dalam titik tolak pergumulan mereka.

Rapal dan doa Kristen bagi komunitas Tunggul Wulung merupakan sesuatu yang sakti. Itu adalah sebuah bentuk perwujudan dari konfirmasi iman mereka. Dalam doa dan rapal-rapal tersebut ada kuasa yang besar, kuasa Ilahi yang mereka hayati sebagai kuasa Kristus yang bisa mengalahkan kuasa-kuasa jahat, penawar tempat yang angker. Itu menjadi senjata mereka, menjadi daya kekuatan mereka. Saya tidak sependapat bila semua itu dianggap sebagai suatu manipulasi kuasa-kuasa rohani untuk kepentingan duniawi. Bagi Tunggul Wulung dan komunitasnya, penggunaan doa-doa dan rapal-rapal itu justru dimaknai sebagai pemakluman keyakinan mereka pada apa yang mereka percayai, pemakluman akan kesaktian ngelmu Kristen mereka. Mereka percaya bahwa rapal-rapal dan doa yang diajarkan guru mereka itu berisi sesuatu yang berkuasa. Bagi mereka itu sudah lebih dari cukup karena itulah yang mereka butuhkan dalam konteks mereka. Bukankah dengan demikian justru komunitas Tunggul Wulung lebih bisa menghidupi kekristenan, Injil, Kristus dalam konteks hidupnya? Tentu mereka akan sangat bergairah mendengar cerita-cerita Injil di mana Yesus diceritakan begitu berkuasa mengalahkan kuasa-kuasa jahat, mengalahkan maut!

Mungkin hal yang dianggap paling kontroversial dalam pengajaran Tunggul Wulung adalah pemahamannya mengenai Kristus. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa Tunggul Wulung memahami Kristus secara rohani, tidak semata Kristus historis, sehingga Ia menganjurkan para muridnya untuk menemukan Kristusnya sendiri. Bahkan oleh para muridnya Tunggul Wulung dimengerti sebagai Kristus yang kelihatan. Apakah ini semua menunjukkan Tunggul Wulung gegabah dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Kristus? Pemahaman Kristus secara rohani tentu bukan hal yang aneh bagi para mistikus atau guru ngelmu seperti Tunggul Wulung. Bahkan ini mungkin lebih bisa diterima dalam alam pikir Jawa. Namun ini tentu sesuatu yang mengejutkan bagi para misionaris yang lebih mengenal Kristus sejarah sehingga menjadi sesuatu yang tabu bila merohanikan Kristus seperti Tunggul Wulung. Bagi orang-orang yang menekuni ngelmu, Kristus dapat dimaknai sebagai Hikmat tertinggi, Roh yang tidak terikat secara historis. Melalui ngelmu, hikmat tertinggi bisa ditemui dan itu dihayati sebagai Kristus. Ketika Tunggul Wulung dilihat oleh para pengikutnya memiliki hikmat dalam bentuk kesaktian yang dimiliki, tentu saja mereka berpikir bahwa Kristus hadir dalam diri Tunggul Wulung, meskipun tidak diketahui secara pasti apakah Tunggul Wulung pernah mengklaim hal itu.

Menurut para misionaris, khususnya Adriaanse, pemahaman jemaat Tunggul Wulung yang seperti itu disebabkan buruknya terjemahan Alkitab pada waktu itu yang memungkinkan jemaat Tunggul Wulung salah pengertian.[40] Namun terlepas dari penerjemahan, tampaknya memahami Kristus secara mistik sebagai Roh, Hikmat, yang dapat hadir cukup bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah Paulus juga memahami bahwa Kristus juga hadir di dalam hidupnya (Galatia 2:19-20), “Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku”. Oleh karena itu kiranya tidak perlu lagi dipertentangkan antara Kristus historis yang hadir dalam Yesus dan Kristus rohani yang dimaknai kehadirannya dalam diri orang percaya. Pemaknaan Kristus sebagai Roh yang dapat dihayati kehadiran-Nya juga dapat ditemukan dalam pemahaman mistik abad 13 dalam diri Aquinas meskipun dengan titik tolak yang berbeda.[41]

Pembebasan

Pembebasan merupakan ajaran dan pengharapan yang nampak dalam diri Tunggul Wulung. Ia berhasil membangun sebuah teologi kemerdekaan khas Jawa, teologi dan komunitas yang merdeka. Setidaknya ada dua ranah pembebasan yang dapat ditemui dalam diri Tunggul Wulung:

Pertama adalah pembebasan teologi. Di kalangan para misionaris, Tunggul Wulung adalah sosok yang keras kepala. Ia begitu yakin dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran baginya. Tetapi justru itu yang kemudian hari menjadi kekuatannya. Ia berani berbeda, Ia berani menghayati imannya, berteologi secara mandiri, berteologi Kristen Jawa. Dalam konteks hegemoni Belanda saat itu, tentu keberanian Tunggul Wulung untuk berdiri sendiri secara teologis merupakan hal yang patut dihargai.

Kedua adalah cita-cita pembebasan sosial yang terwujud dalam bentuk pengharapan Ratu Adil. Visi ini merupakan visi sebagian besar masyarakat Jawa pada waktu itu, termasuk dalam hal ini adalah gerakan-gerakan keagamaan lokal. Sebagai sebuah pengharapan bersama, visi keterwujudan Kerajaan Ratu Adil ini pun dapat ditemukan dalam pemikiran Kyai Sadrach, murid Tunggul Wulung di Purworejo. Pengharapan Ratu Adil merupakan suatu pengidam-idaman suatu zaman keemasan, di mana tidak ada lagi pertentangan dan penderitaan, rakyat akan bebas dari pembayaran pajak yang memberatkan. Tidak ada lagi penyakit dan pencuri, sandang pangan akan melimpah, dan orang akan hidup dalam damai.[42] Pengharapan ini juga yang dicita-citakan Tunggul Wulung dan komunitasnya yang mereka jumpai dalam kekristenan. Allah adalah Allah yang membebaskan dari perbudaan (Dasa Titah) dan Kerajaan Allah diharap-harapkan kehadirannya segera (doa Bapa Kami).

Yang menarik dari visi pembebasan dari Tunggul Wulung ini adalah gerakannya yang tanpa kekerasan. Ini cukup berbeda dengan gerakan-gerakan Ratu Adilisme yang saat itu berkembang dalam bentuk pemberontakan. Pembebasan Tunggul Wulung diwujudkan dalam bentuk pembukaan desa-desa baru yang terpencil jauh dari dominasi pemerintah. Melalui desa-desa Kristen itu semangat pembebasan diwujudkan di mana mereka menjadi semacam komunitas merdeka yang tidak terikat dengan perbudakan dan kerja paksa pemerintah. Oleh karena itulah dalam konteks sosial ekonomi Jawa yang tidak menentu, ditambah dominasi Belanda yang cukup kuat, cita-cita Tunggul Wulung mengenai komunitas Kristen yang merdeka mendapat simpati banyak orang.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembebasan menjadi  tema utama pemikiran dan gerakan Tunggul Wulung. Pembebasan dimaknai sebagai bentuk kemerdekaan dari semua penindasan dan perbudakan, baik secara teologis maupun secara fisik. Meskipun memang pengharapan Ratu Adil yang diharapkan keterwujudannya di Bondo tidak tercapai, tetapi visi pembebasannya masih relevan untuk digaungkan sepanjang masa. Justru ini sumbangan besar sosok Tunggul Wulung yang sekian lama terlupakan oleh keturunan dan generasi sesudahnya. Visi ini sekaligus merupakan kritik bagi teologi GITJ saat ini.

Mistik dan Pembebasan

Dalam ajaran dan gerakan Tunggul Wulung ada keterkaitan yang erat antara mistisisme dan pembebasan. Keduanya sulit dipisahkan dan kait mengait. Sehingga sulit mencari mana yang lebih mendahului, apakah keprihatinan akan pembebasan yang membuat mereka menempuh jalan mistik ataukah karena mereka menempuh jalan mistik membuat mereka memiliki visi pembebasan. Di satu sisi bisa jadi visi pembebasan sebagai bentuk keprihatinan kondisi sosial ekonomi yang membuat Tunggul Wulung dan komunitasnya mencari kekuatan dari sisi mistik. Hal ini dapat dijelaskan dari petualangan Tunggul Wulung di mana Ia semula terkait dengan gerakan Diponegoro lalu mencari ngelmu dan kemudian membentuk komunitas yang merdeka. Dalam hal ini mistik menjadi energi untuk pembebasan. Ternyata pola semacam ini menjadi pola umum bagi para pemimpin gerakan pembebasan Ratu Adil di Jawa, di mana mereka mencari kekuatan spiritual yang menopang gerakan mereka.[43]

Namun di sisi lain, bisa jadi penghayatan mistik menjadi inspirasi bagi Tunggul Wulung mempertajam visi pembebasannya. Ketertarikannya pada Allah yang membebaskan dan pengharapan kehadiran Kerajaan Allah semakin memperteguh visi pembebasannya. Refleksinya mengenai Kristus yang hadir dapat bermakna revolusioner. Kristus itulah yang memerdekakan, yang telah mengalahkan maut, dan membebaskan dari setiap bentuk perbudakan. Nampaknya Tunggul Wulung dapat membantu saya untuk bisa lebih menghayati makna pembebasan dari Injil. “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.“(Lukas 4:18-19)

Penutup

Dari peninjauan terhadap pemikiran dan kehidupan Rasul Jawa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, kita bisa melihat bagaimana Injil dihayati dan menjadi bermakna dalam konteks Jawa. Sebuah sumbangan besar dari tokoh yang hampir terlupakan oleh keturunannya. Kekristenan dihayati secara ngelmu Jawa bersanding dengan visi pembebasan terwujudnya kerajaan Allah “Ratu Adil”. Visi tersebut diwujudkan dalam bentuk komunitas Kristen yang merdeka di mana cita-cita pembebasan tersebut diwujudkan.

Tentu tinjauan ini tidak bermaksud untuk menumbuhkan romantisme masa lalu, baik dalam hal teologi maupun gerakan komunitasnya, sehingga orang-orang Kristen Jawa lalu berbondong-bondong meninggalkan pengajaran yang selama ini ada lalu berubah menjadi penganut ngelmu Kristen. Hal yang terpenting bukan mana yang harus dipilih. Tetapi setidaknya ada pilihan, ada warna teologi dan penghayatan yang berbeda, yang memiliki sisi kekuatan dan kelemahan masing-masing. Karena itu yang penting adalah kerendahhatian satu dengan yang lainnya dengan membuka ruang adanya kemungkinan bentuk teologi dan penghayatan iman yang berbeda di Jawa. Akan menjadi masalah bila Kristen ngelmu dan Kristen ortodoksi masing-masing memutlakkan dirinya sebagai satu-satunya Kristen yang benar. Kristen ngelmu ala Tunggul Wulung itu baik, sebagai bentuk penghayatan iman orang Jawa yang kontekstual dan bermakna bagi hidup mereka pada waktu itu. Tetapi itu pun tidak boleh dimutlakkan sebagai suatu model ideal. Karena toh pergumulan dan karakteristik orang Jawa semakin bergeser. Mungkin saat ini ngelmu tidak menjadi budaya dominan bagi generasi Jawa saat ini. Sebaliknya tidak perlu juga corak “Kristen ortodoksi” dijadikan sebagai yang ideal, meskipun memang ini yang saat ini dominan. Ada sejarah panjang proses dominannya Kristen ortodoksi dalam khazanah kekristenan di Jawa, yang sering kali bersifat konfrontatif dengan bentuk-bentuk mistis.

Yang ideal tentu dengan menghargai kedua bentuk kekristenan itu sebagai bagian dari proses penghayatan iman komunitas, di mana sesungguhnya yang satu bisa melengkapi maupun mengkritisi yang lain. Kristen ngelmu memiliki kekuatan dalam hal pengalaman batin dan penghayatan akan kuasa Ilahi dalam realitas hidup mereka. Ada visi pembebasan yang sering kali tercecer dalam pengajaran kekristenan ortodoksi. Namun pengajaran juga diperlukan sehingga tidak terjadi kesewenangan individualistik baik oleh pemimpin maupun bribadi masing-masing. Sebaliknya juga Kristen “ortodoksi” memiliki kekuatan pemahaman iman secara kognitif. Tetapi itu akan menjadi kering tanpa pengalaman batin. Keduanya perlu diterima sebagai bentuk beragama komunitas.

Satu hal yang menarik dari Tunggul Wulung sebagai sosok yang ndableg (keras kepala) adalah kesediaannya untuk menyadari keterbatasannya. Baginya pengajaran para zending itu penting meskipun bukan yang paling utama, dan Ia menyadari keterbatasannya mengenai hal itu. Oleh karena itulah Ia mengirimkan para penerusnya belajar pada Jansz untuk dipersiapkan mejadi pemimpin jemaatnya. Sering kali Ia mengungkapkan kepada Jansz dan para misionaris bahwa Ia hanya mampu memberikan “kulit Injil” kepada umatnya, biarlah Jansz dan para misionaris yang memberikan “isi” berupa ajaran-ajaran kepada mereka. Tetapi nampaknya “kulit” yang diberikan oleh Tunggul Wulung terlalu berharga untuk dibuang. Dan mungkin saja bukan “kulit” yang Ia berikan, melainkan juga isi Injil yang membebaskan.

Bibliografi

Hoekema, A.G. “Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (±1800-1885) ‘Apollos Jawa’”, Majalah Peninjau No. Th.VII, 1980.

Johnston, William. Teologi Mistik Ilmu Cinta, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)

Karmito, “Mistik Kejawen Humanis Kristen Kyai Ibrahim Tunggul Wulung: Pintu Masuk Menuju Liberasi Mesianik Di Bondo-Jepara Abad Ke-19,” Makalah Akhir Semester Filsafat Asia Program Studi Ilmu Filsafat, Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 2006,

Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984)

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)

Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994)

Singgih, Emanuel Gerrit. Berteologi Dalam Konteks (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK,  2000).

Solle, Dorothe. The Silent Cry, Misticism and Resistence (Minneapolis: Fortress Press)

van Akkeren, Philip. Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja pribumi (Jakarta: BPK, 1994)

Yoder,Lawrence. The Introduction and Expression of Islam and Christianity in the Cultural Context of North Central Java (Michigan: University Microfilms International, 1987)

——– “Jepara: Kota Kelahiran GITJ di GITJ “ Makalah seminar di GITJ Jepara, Februaru 2008.

——– dan Sukoco, Sigit Heru. Mengalir Mencari Alur, Sejarah Pekabaran Injil Sekitar Muria dan Sejarah Gereja Injili di Tanah Jawa (dalam proses terbit).


[1] R. S. Sugirtharajah, The Bible and the Third World: Precolonial, Colonial and Postcolonial Encounters, Cambridge University Press, Cambridge, 2001, hlm. 244-250.

[2] Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK,  2000), hlm. 116.

[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 413-422.

[4] Dorothe Solle, The Silent Cry, Misticism and Resistence (Minneapolis: Fortress Press), khususnya Bab III pasal 11-15.

[5] Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja pribumi (Jakarta: BPK, 1994) hlm. 209.

[6] Pernyataan Tunggul Wulung  (24-2-1857) terdapat di antara kertas-kertas yang termasuk Oost-Indische Besluiten (Keputusan-keputusan Indie), 24 Mei 1854. Lih. Hoekema, “Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (±1800-1885) ‘Apollos Jawa’”, hlm. 4, fn.3

[7] Silsilah yang diterbitkan Kraton Solo menyebut Raden Mas Demang Padmodirdjo alias Kijahi Toenggoelwoeloeng sebagai “cicit (tjanggal)” Sri Paduka KGPAH Mangkunegoro  ke Satu. A.G. Hoekema memperoleh fotocopy dokumen ini dari R. Soeditjipto Soedjipto Wardjojo, yang menurut daftar itu adalah tjitjit dari R.M. Demang Padmodirdjo. Lih. Hoekema, “Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 5, fn. 7. Yoder melalui wawancara dengan Soedjono Hasoedirdjo pada tahun 1974 memperoleh informasi bahwa pada awalnya R. Tondo ini tidak diakui oleh ayahnya, karena ibunya adalah seorang selir. Sehingga dikisahkan Ia harus menunjukkan tanda-tanda sebagai seorang anak bangsawan yang dalam hal ini dibuktikan dengan kesaktian . Menurut cerita hal itu bisa dilakukannya sehingga Ia mendapat gelar Raden Tondo dari ayahnya. Lih. Lawrence Yoder dan Sigit Heru Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 34.

[8] Yoder, The Introduction and Expression of Islam and Christianity… hlm. 285.

[9] Yoder, The Introduction and Expression of Islam and Christianity…hlm. 285

[10] Philip van Akkeren,Dewi Sri dan Kristus…, hlm. 208.

[11] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 38-39.

[12] Jansz, Buku Catatan Harian, 17-1-1854, dikutip Hoekema, ”Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 8.

[13] Keluaran 20:1-5a. Alkitab Dalam Bahasa Sehari-hari (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1996).

[14] Hoekema, ”Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 11

[15] Buku Harian Jansz 16 Mei, 31 Juli, dan 4 Agustus 1854 dikutip Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 46.

[16] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 62

[17] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…,. 74

[18] Hoekema, ”Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 13

[19] Karmito, “Mistik Kejawen Humanis Kristen Kyai Ibrahim Tunggul Wulung: Pintu Masuk Menuju Liberasi Mesianik Di Bondo-Jepara Abad Ke-19,” Makalah Akhir Semester Filsafat Asia Program Studi Ilmu Filsafat, Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 2006, hlm. 5, 16.

[20] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 52-53. Cukup menarik di mana Yoder membandingkan antara Tunggul Wulung dan Sunan Kalijaga yang ternyata di antara keduanya banyak kemiripan sehingga layak bila dikatakan Tunggul Wulung sebagai Sunan Kalijaganya Kristen.

[21] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 82 hasil wawancaranya dengan Soedjono Harsosoedirdjo; Wawancara dengan Ismail, Tegalombo, 2 Januari 1974; Wawancara dengan Pardan, Banyutowo, 10 Maret 1978.

[22] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 83 hasil wawancara dengan Sumardi.

[23] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 81.

[24] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, Hlm. 80

[25] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 84.

[26] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 85.

[27] Jansz, Surat pada tanggal 7-4-1862 dan Laporan Kepada D.Z.V. mengenai 1866-1867. N.D. Schuurmans memberitakan dalam surat kepada DZV tanggal 26-1-1874 bahwa Tunggul Wulung satu kali menyamakan diri dengan Kristus, lain kali dengan Allah. Lih. Hoekema, ”Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 8, fn. 66.

[28] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm, 85

[29] Karmito.Mistik Kejawen Humanis Kristen Kyai Ibrahim Tunggul Wulung.”

[30] Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus…, hal. 156.

[31] Yoder dan Sukoco, Mengalir Mencari Alur…, hlm. 95, Wawancara, Soedjono Harsosoedirdjo.

[32] Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984),  hlm. 16-17

[33] Hoekema, ”Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 15

[34] Karmito, Mistik Kejawen Humanis Kristen Kyai Ibrahim Tunggul Wulung.” hlm. 22.

[35] Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984),  hlm. 51

[36] Hoekema, ”Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 16

[37] Hoekema, ”Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 16.

[38] Karmito,Mistik Kejawen Humanis Kristen Kyai Ibrahim Tunggul Wulung.”  hlm. 40.

[39] E.G. Singgih, Berteologi Dalam Konteks, hlm. 83-86.

[40] Hoekema, ”Kyai Ibrahim Tunggul …”, hlm. 19

[41] William Johnston, Teologi Mistik Ilmu Cinta, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 54-57.

[42] Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 15.

[43] Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm. 50.

Latar Belakang

Kehadiran GITJ di wilayah Jepara dan sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari karya Kiai Ibrahim Tunggul Wulung (1800-1885) dan para pengikutnya yang membentuk komunitas Kristen Jawa Merdeka di daerah Bondo, Banyutowo, dukuhseti dan Tegalombo sejak tahun 1850-an. Dalam pelayanannya sekitar 30 tahun, Tunggul Wulung memiliki pengikut kurang lebih sekitar 1000 orang, jauh lebih besar dibandingkan dengan pelayanan misi Pieter Anthoni Janzs dari badan misi DZV (Doopgesinde Zendings Vereeniging) yang mulai bekerja di Jepara dan sekitarnya tahun 1852. Setelah Tunggul Wulung wafat pada tahun 1885, komunitas Kristen Jawa yang didirikannya lambat laun menggabungkan diri dengan jemaat DZV. Selanjutnya misi di daerah Jepara dan sekitarnya banyak dilaksanakan oleh Pieter Janzs dari DZV dan beberapa tokoh lokal, seperti Pasrah Karso dan Pasrah Noeriman. Dengan ijin dari Pemerintah Hindia Belanda, Jansz membuka desa-desa baru, di antaranya: Kedung penjalin, Margoredjo, Bumi Hardjo, dan Pakis Swawal.

Karena pengaruh kebijakan politik Etis yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun 1900-an, maka kegiatan misi juga diarahkan ke masalah pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian banyak tenaga pengajar dan medis yang dihasilkan dari desa-desa Kristen. Dalam perkembangan selanjutnya, tenaga-tenaga pengajar dan medis ini banyak yang tersebar ke kota di mana kekristenan belum berkembang di sana. Selain itu karena banyak pemuda-pemuda Kristen dari desa yang belajar ke kota, sehingga kekristenan mulai mengalir ke perkotaan. Dari sinilah sebenarnya awal dari terbentuknya GITJ Jepara.

Cikal Bakal GITJ Jepara

Menurut Bp. Kusnadi dan Ny.Katrin (keduanya adalah anak dari Karjono Dirdjo Admodjo), pada awal tahun 1932 di Jepara sudah ada beberapa keluarga Kristen. Yaitu Kardjono Dirdjo Admodjo yang berprofesi sebagai guru, Samilin yang berprofesi sebagai tenaga medis, dan Tarjo. Setiap hari minggu mereka kebaktian di Pakis Swawal, Srobyong, atau Kedung Penjalin. Karena jarak yang cukup jauh dan sarana transportasi yang kurang memadai, maka mereka memutuskan untuk mengadakan kebaktian sendiri di Jepara. Pada tanggal 12 April 1932 mereka mengadakan kebaktian pertama kali di rumah Kardjono Dirdjo Admodjo (sekarang Jl. Kartini no.20). Kebaktian dihadiri sekitar 10 orang, termasuk anak-anak muda yang belajar di kota. Saat itu yang melayani adalah Johann Hubert Martin dari Kedung Penjalin.

Menurut Bapak dan Ibu L. Soewandi, kebaktian selanjutnya dipindahkan ke rumah Samilin (sekarang Jl. Pemuda No.4) supaya lebih strategis jangkauannya. Namun karena kemudian Samilin pindah tugas ke pecangaan, maka kebaktian dipindah ke sebuah gedung (sekarang Gedung Imanuel GKMI Jepara). Kebaktian saat itu dihadiri kurang lebih 25 orang yang dipimpin oleh GI. Radijo Nitihardjo yang pada tahun 1937 pindah dari Kayu Apu ke jepara dan bertempat tinggal di depan Klenteng jepara (sekarang Jl. Diponegoro no.11).

Karena GI. Radijo Nitihardjo kemudian pindah di rumah Karto Darkum Siram di Pengkol (sekarang Jl. Slamet Riyadi no. 15 Jepara), maka kebaktian dipindah di rumah kontrakan tersebut dan dilayani oleh GI.Radijo Nitihardjo, I.S. Siswoyo, dan tenaga pembambantu dari kedung Penjalin. Jumlah yang ikut kebaktian berkurang, mengingat banyak dari mereka yang pindah tugas atau kembali ke daerahnya masing-masing. Pada waktu itu sudah diadakan Baptisan dan Perjamuan kudus.

Pada tanggal 10 September 1939, Radijo Bitihardjo mendapat panggilan melayani di Margokerto dan menetap di sana setelah pada tanggal 14 Nopember ditahbiskan menjadi pendeta. Karena itu, kebaktian yang semula di Pengkol, oleh GI. I.S. Siswoyo pada tahun 1942 dipindah lagi ke rumah Samilin di Jl. Pemuda No.4 Jepara. Kebaktian dilaksanakan tiap minggu sore dan dihadiri sekitar 25 orang. Kemudian GI. I.S. Siswoyo ditahbiskan menjadi Pendeta oleh Sinode di Kelet dan menjadi pendeta utusan di jepara.

Lambang GITJ

Lambang GITJ

Awal Kedewasaan

Seiring berjalannya waktu, persekutuan di jepara sudah mulai mapan. Sehingga pada tahun 1942 dipilih beberapa pengurus yang melayani dan menjadi penghubung dengan gereja-gereja lain. Mereka adalah: I.S. Siswoyo, Samilin, L. Soewandi, dan Y. Koesnadi. Pertumbuhan semakin kuat dengan bertambahnya anggota yang datang dari daerah lain, yaitu keluarga Koesmanto, Soepadmo, Pratiknya, Djajusman, Karmiadi, R. Soenyata, Redjo, dan para anak muda yang belajar di Jepara.

Dengan pertumbuhan yang cukup baik itu, maka ada keinginan dari jemaat untuk mendirikan gedung Gereja sebagai tempat ibadah yang tetap. Akhirnya jemaat dapat membeli tanah seluas 700 m² atas nama P. Soetartono dengan harga Rp. 35.000,00. Dana saat itu diperoleh dari bantuan Sinode dan dari sumbangan anggota jemaat maupun para simpatisan. Dedikasi anggota jemaat saat itu sangat tinggi dengan memberikan persembahan baik berupa uang maupun bahan material untuk pembangunan gereja di Jepara sampai akhirnya bangunan gereja dapat berdiri. Meskipun bangunan belum sempurna, namun sudah ditempati sebagai tempat kebaktian dan diresmikan pada tanggal 12 April 1961 yang dihadiri oleh Ds. Djojodihardjo sebagai pembawa Firman Tuhan. Bersamaan dengan itu pula dilaksanakan peneguhan majelis GITJ Jepara. Gedung gereja tersebut masih ditempati sampai saat ini dengan renovasi dua kali seiring dengan bertambahnya anggota jemaat, yaitu pada tahun 1975 dan 1995.

GITJ Jepara dalam PertumbuhanNya

Dalam melaksanakan panggilannya, GITJ Jepara selama kurun waktu tahun 1961-sekarang telah menumbuhkan tiga Pepanthan, yaitu Sukodono, Senenan, dan Bandengan.

1. GITJ Sukodono

Pembawa berita Injil ke Sukodono adalah Parman bin Kandang yang pada tahun 1964 ia datang dari Pati dan saat itu ia telah beragama Kristen. Setelah beberapa waktu akhirnya ada beberapa orang yang tertarik dengan Injil. Untuk menambah pemahaman mengenai Injil dan kekristenan maka didatangkanlah Pdt. P. Soetartono dari GITJ Jepara untuk membina iman mereka. Kebaktian pun dilaksanakan di Sukodono pada bulan Juni 1965 di rumah Parman selama 7 bulan. Tiap-tiap kebaktian dihadiri 9 orang dari Sukodono ditambah pendeta, majelis, dan Paduan Suara GITJ Jepara sehingga jumlahnya kurang lebih sekitar 25 orang. Dalam kebaktian itu selalu diselibkan kegiatan seperti merenda dan menyulam yang dipimpin Ny. Pdt. P.Soetartono dan Ny. Rudjito.

Selanjutnya kebaktian berpindah ke rumah Bp. Saban dan kemudian Bp. Prawiro yang lebih luas mengingat jumlah yang hadir semakin banyak. Akhirnya jemaat bertekad untuk membangun gedung gereja meskipun saat itu baru berjumlah 20 orang. GITJ Jepara membantu membeli sebidang tanah untuk bangunan gereja sedangkan jemaat bergotong royong mengumpulkan dana dan bahan bangunan. Pada tanggal 27 Juli 1968 pembangunan dimulai dan pada tanggal 23 Desember 1968 pembangunan selesai 95% dan saat itu diadakan perayaan natal dan peresmian gedung gereja. Untuk membina jemaat yang terus bertumbuh, yaitu sekitar 60 orang, pada tanggal 21 Desember 1973 S. Soepardi pembantu pendeta GITJ Jepara diangkat dan ditahbiskan menjadi pendeta GITJ Sukodono.

2. Pepanthan Bandengan

Orang yang pertama kali menjadi Kristen di Bandengan adalah Suntono yang awalnya ke Bandengan untuk merantau bekerja dan mencari Ilmu. Awalnya Suntono Di Desa Banyumanis Kecamatan Keling, bertemu dengan seorang dukun yang bertobat menjadi Kristen bernama Singa. Akhirnya Suntono menjadi Kristen dan dibaptis di GITJ Jeruk Rejo pada tahun 1967 dan menikah dengan Parsini di Banyumanis. Pada tahun 1975 Ia ke Bandengan dan tahun 1977 datang ke GITJ Jepara meminta untuk dilayani kebaktian keluarga di rumahnya. Waktu selanjutnya, kebaktian di rumah Suntono dihadiri banyak tetangga yang ikut bergabung sehingga rumahnya tidak muat lagi.

Berkat kerja sama dengan GKMI Jepara akhirnya dapat dibangun brak tempat kebaktian di atas tanah milik Suntono dan pada tanggal 16 April 1978 meneguhkan Markus Karyoso menjadi Guru Injil di Bandengan. Kerja sama dengan GKMI Jepara terus berlanjut dan akhirnya dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun gedung gereja. Namun karena berbagai rintangan dari masyarakat sekitar akhirnya brak dan tanah dijual dan kebaktian dipindah ke sebuah rumah yang dibeli GITJ Jepara di jalan raya menuju Pemandian Tirta Samudra Bandengan pada tanggal 18 Desember 1978 atas nama Markus Karyoso. Karena pada tanggal 10 Juni 1981 Markus Karyoso ditahbiskan menjadi pendeta dan diutus oleh Pengurus Komisi Pembangunan Luar Jawa (KPLJ) Sinode GITJ ke Way Abung II Lampung, maka pelayanan di Bandengan dilakukan oleh GITJ Jepara. Pada tahun 1995 tanah untuk kebaktian diatasnamakan Nawi, salah seorang warga Pepanthan Bandengan dan pada tahun itu pula rumah dipugar.

3. Pepanthan Senenan

Karena kasih Kristus, GITJ Jepara dapat membuka Pepanthan di Desa Senenan sekitar 4 km ke arah timur kota Jepara. Kebaktian di Senenan pertama kali diadakan pada tanggal 15 Desember 1978 dan kemudian diteruskan setiap hari jumat pukul 19.00 bertempat di rumah Bp. Sarno Soepodo, BA, seorang anggota GITJ Jepara yang bertempat tinggal di Senenan. Melihat pertumbuhan jumlah yang ikut kebaktian keluarga, maka ada kerinduan untuk memiliki sebidang tanah dan membangun gedung gereja. Berkat kerja sama dengan GKMI Jepara akhirnya dapat dibeli sebidang tanah seluas 466 m² atas nama Sarno Soepodo dan dibangun gereja. Pada tanggal 21 Desember 1981 diadakan perayaan Natal pertama kali pepanthan Senenan di gedung gereja yang baru. Perayaan Natal itu dihadiri sekitar 250 pengunjung.

Selamat Datang

Selamat datang di Blog Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Jepara. Sebuah gereja yang berlokasi di kota Jepara, Jawa Tengah. Untuk melihat profil GITJ Jepara, silahkan klik pada tab "sejarah GITJ Jepara" di mainbar. Tuhan memberkati.
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Tulisan Terbaru