You are currently browsing the tag archive for the ‘Bersaksi’ tag.

Latar Belakang

Setelah Yesus dibaptis Yohanes (Mat 3), Ia menghadapi pencobaan di padang gurun setelah berpuasa 40 hari. Sebuah pendadaran sebelum Ia melaksanakan pekerjaan-Nya di dunia untuk mewartakan Kerajaan Allah. Perikop ini (Matius 4:12-25) menceritakan pertama kali Yesus mewartakan Kerajaan Allah. Oleh karena itu ada 3 babagan yang menarik dan penting untuk diperhatikan dalam kisah pelayanan mula-mula Yesus ini.

  1. Galilea sebagai tempat Yesus melayani (Matius 4:12-17)
  2. Pemanggilan para murid (Matius 4:18-22)
  3. Pekerjaan Yesus dalam mewartakan Kerajaan Allah (Matius 4:23-25)

Dalam PA ini, supaya lebih fokus, kita akan memberikan perhatian pada pemanggilan para murid untuk ambil bagian dalam pewartaan Kerajaan Allah (Mat 4:12-17). Itu dapat dimengerti dengan lebih baik bila tetap memperhatikan alur cerita tersebut.

Baca entri selengkapnya »

Pengantar

Kita hidup di tengah masyarakat yang majemuk, termasuk kemajemukan agama. Sering kali perbedaan agama dan keyakinan menjadi hal yang sensitif di masyarakat kita. Tiap-tiap keyakinan memiliki klaim kebenaran yang dipertandingkan dan sering kali berujung pada konflik. Apalagi kita hidup dalam suasana masyarakat modern yang berpemahaman bahwa kebenaran selalu tunggal. Sehingga apabila ada banyak klaim kebenaran, dalam pola pikir modern, harus ada satu kebenaran yang sungguh-sungguh benar dan yang lain adalah salah. Tentu yang dipahami sebagai yang sungguh-sungguh benar adalah kebenaran kelompoknya dan kebenaran yang palsu adalah kelompok yang lain. Pertanyaannya: apakah keyakinan akan kebenaran harus selalu didasarkan pada penghakiman bahwa yang lain itu salah?

Di dalam kekristenan sendiri terkandung banyak klaim kebenaran, khususnya berkenaan dengan keselamatan di dalam Yesus. Di antaranya seperti yang tertulis dalam Yohanes 14:6,”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Kita akan bersama menggumuli keyakinan iman ini secara kontekstual, sehingga di tengah-tengah masyarakat yang majemuk ini kita tetap memiliki komitmen sekaligus keterbukaan dalam berelasi dengan yang lain.

Memahami Yohanes 14:1-14

  1. Tujuan

Perikop ini sebenarnya tidak berbicara mengenai masalah keberadaan agama-agama lain. Sehingga sebenarnya kurang tepat kalau memakai perikop ini untuk menghakimi keyakinan agama lain. Kalau dilihat dari alur ceritanya, kisah dalam perikop ini masuk dalam rangkaian pesan-pesan perpisahan Yesus dengan para muridnya (Pasal 13-17) menjelang Ia ditangkap (pasal 18). Mendengar bahwa Yesus akan meninggalkan mereka para murid menjadi sedih, kecewa, bingung dan gelisah (ayat 1: janganlah gelisah hatimu…). Kenapa sedih dan gelisah? Karena para murid selama ini meyakini bahwa Yesus adalah Mesias yang akan membebaskan mereka dari penjajahan Roma, sebagaimana yang menjadi pengharapan semua orang Yahudi waktu itu. Baca entri selengkapnya »

Oleh Danang Kristiawan, S.Th

Pengantar

Membaca judul di atas mungkin terasa aneh. Kenapa? Karena ada dua kata, yaitu “bersaksi” dan “kepasifan”, yang seolah memiliki kesan yang berlawanan tetapi dipakai secara bersamaan. Bersaksi, atau di dalam gereja leih dikenal dengan istilah misi, seringkali dipahami sebagai tindakan yang aktif. Ketika digunakan dalam konteks gereja kata “bersaksi” identik dengan mengabarkan Injil. Bahkan selama ini istilah pekabaran Injil dipersempit sedemikian rupa menjadi identik dengan berbagai aktifitas yang dapat menarik atau menjadikan orang lain masuk dalam komunitas kristen. Oleh karena itu sering kali memakai berbagai strategi “promosi” dengan berbagai kecerdikan, mungkin juga kelicikan, untuk menjangkau orang-orang yang “di luar”.

Tetapi bagaimana bila bersaksi itu dilakukan dengan sikap yang pasif? Mungkinkah dapat dilakukan? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan itu. Yang menjadi tesis utama tulisan ini adalah kesaksian dapat diwujudkan melalui sikap yang “pasif”, tidak melulu aktif ke luar. Pemahaman misi dalam pengertian pasif ini mengambil dasar dari Perjanjian Lama yang sering dipinggirkan dalam wacana misi

Identitas Umat Pilihan Sebagai Bentuk Misi dalam Perjanjian Lama

Aspek misioner dalam Perjanjian Lama dapat dijumpai pada pemilihan Bangsa Israel[1] oleh Allah. Dalam pemilihan itu Allah bertindak sebagai misionaris yang memakai Israel sebagai bagian dari rencana universalNya.[2] Ini dapat dengan jelas dilihat dari dinamika hubungan Allah dengan manusia dalam Kejadian pasal 1-11. Perjanjian Lama tidak dimulai dengan Israel, tetapi dengan manusia secara umum [bangsa-bangsa. Kejadian 1-11 merupakan drama Tuhan dengan manusia secara umum. Pada dasarnya Allah menciptakan manusia adalah untuk bergaul denganNya. Namun yang terjadi adalah komunitas manusia menolaknya. Hal itu dapat dilihat dari kisah Adam dan Hawa, Nuh, dan selanjutnya kisah menara Babel sebagai sebuah bentuk puncak pemberontakan manusia terhadapAllah.

Tuhan tidak membiarkan dunia yang kacau seperti itu. Ia kemudian memanggil Abraham (Kejadian 12). Panggilan Abraham, dan berikutnya umat Israel sebagai komunitas yang terpanggil, merupakan jawaban dari Allah terhadap kejahatan manusia (bangsa-bangsa).[3] Jadi dapat digambarkan bahwa Tuhan berinisiatif untuk menciptakan komunitas baru, yaitu Israel. Komunitas ini dilahirkan sebagai tanggapan dari “kekacauan” manusia. Israel dilahirkan dari ketiadaan (kemandulan Sarah), sehingga benar-benar baru. Komunitas yang baru itu diciptakan agar berbeda dengan bangsa-bangsa. Dengan kata lain Israel hendak dijadikan sebagai “komunitas Alternatif”, komunitas yang lain dari yang lain, atau semacam “komunitas percontohan”. Bila bangsa-bangsa menolak bergaul dengan Allah, maka Israel harus berbeda. Bila bangsa-bangsa banyak melakukan kejahatan, Israel diciptakan untuk melakukan keadilan dan kebenaran. Tuhan memberikan pengetahuan tentangNya kepada Israel, sehingga akhirnya semua bangsa akan belajar keadilan dan akan bergaul dengan Tuhan.

Memang sifat alternatif dari Israel itu banyak dimanifestasikan dalam bentuk ketertutupan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari perintah untuk tidak bercampur dengan penduduk Kanaan (Ulangan 7) maupun larangan untuk menyembah ilah yang lain. Tetapi ketertutupan itu perlu dipahami sebagai bentuk penjagaan terhadap identitas Israel sebagai komunitas alternatif. Israel perlu menjaga identitasnya supaya tidak tercemar dari bangsa-bangsa yang lain. Dan justru melalui itulah Israel menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Artinya sifat keberbedaan Israel dari bangsa-bangsa lain itulah yang membuat Israel dapat menjadi berkat. Bila identitas alternatif itu luntur, dalam arti tercemar oleh bangsa-bangsa, maka fungsi Israel juga luntur, Israel menjadi “sama saja” dengan bangsa-bangsa. Jadi ada semacam dialektika antara Israel dengan bangsa-bangsa. Di satu sisi Israel “diasingkan” dari bangsa-bangsa lain, tetapi itu bermanfaat sebagai berkat bagi bangsa-bangsa lain. Atau dengan kata lain ketertutupan Israel, dalam pengertian penjagaan terhadap sifat alternatifnya itu, adalah bentuk “kesaksian” yang bernilai universal.

Sebagai umat pilihan Allah, Israel membina hubungan yang eksklusif dengan Allah. Israel menjadi umat Allah dan Allah menjadi Tuhan Israel. Hubungan itu dibingkai dalam perjanjian yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan Israel kepada Allah. “Sebagai rekan perjanjian Allah, Israel adalah sebuah komunitas yang diketahui melalui ketaatannya”. Ketaatan itu diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu tinggal dalam perintah Allah [Taurat] dan dalam pergaulan dengan Allah [peribadatan].[4] Atau biasa disebut ketaataan mendengar (tradisi Ulangan) dan ketaatan melihat (imamat).

s  Tradisi syema atau mendengar dan melakukan perintah Tuhan (misalkan Ul 4:1; 5:1; 6:3-4; 9:1; 20:3; 27:9; 33:7), pada akhirnya berpusat pada perintah untuk melakukan keadilan. Walter Brueggemann meringkaskan, “Ketaatan Israel adalah untuk melakukan keadilan. Israel adalah komunitas yang ditempatkan [diciptakan] di dunia sehingga ada keadilan untuk disaksikan di dunia” (Brueggemann: 421). Kepada Israel telah diberi pengetahuan tentang Tuhan dan kemudian dipanggil untuk memperlihatkan kehendakNya dalam praktik keadilan, baik dalam hidup pribadi maupun sosial [Ul 10:17-18]. Melakukan keadilan menjadi sebuah tuntutan otomatis dari ketaatan pada Tuhan. Praktik keadilan itu dilandasi dari semangat cinta terhadap sesama, termasuk di dalamnya melindungi hak orang-orang yang lemah maupun orang asing [Ul 14:29; 16:11; 24:19-21; 26:12-15; Yes 1:17; Yer 7:6; Yeh 34:3-5; Mik 2:1-2]. Hal itu dipahami sebagai refleksi atas tindakan Allah terhadap Israel, khususnya pada saat keluar dari Mesir.

s  Ketaatan untuk melihat atau bergaul dengan Tuhan terkait dengan kultus peribadatan.Tradisi ini biasa disebut sebagai tradisi Imamat yang di dalamnya banyak dijumpai ketetapan mengenai peribadatan Israel. Israel diundang untuk “memandang”, yaitu menghayati kehadiran, kekudusan, dan keindahan Allah dalam peribadatan Israel. Kehadiran Allah diidentifikasikan dengan Tabut perjanjian dan kemudian Bait Suci. Sedangkan kekudusan Allah ditunjukkan pada transendensi dan keterpisahan Allah. Konsekuensinya, kehidupan Israel juga harus kudus dalam segala aspek. Dalam arti bahwa kehidupan Israel harus murni dan bersih sehingga Allah hadir di tengah-tengah Israel. Kekudusan tidak hanya meliputi hal-hal teknis mengenai moralitas saja, tetapi juga termasuk di dalamnya kehidupan sosial dituntut untuk kudus yaitu dengan mencintai kebenaran dan keadilan dan tidak melakukan kejahatan sosial. Israel melakukan itu supaya layak untuk berkomuni dengan Allah yang kudus (Brueggemann: 428).

Jadi dapat dikatakan bahwa ketaatan Israel meliputi aspek keadilan dan pergaulan dengan Tuhan (ibadah). Keduanya saling terkait membentuk sebuah keseluruhan.

Kerajaan imam

Identitas Israel sebagai “komunitas alternatif” juga dapat dipahami dalam fungsinya sebagai imam. “…kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus…” (Kel 19:6). Israel dalam konteks ini diletakkan Tuhan sebagai umat yang dikuduskan [terasingkan], yang kemudian menjadi Kerajaan imam. Memang menjadi pertanyaan untuk siapa Israel menjadi imam? Di satu sisi jawabannya adalah untuk Tuhan, yaitu mempersembahkan kurban bagiNya. Tetapi di sisi lain kemungkinan besar Israel dijadikan sebagai imam bagi bangsa-bangsa, sebagai mediator dan perantara the well being bagi bangsa-bangsa. Fungsi imam pada dasarnya adalah untuk membuat kebaikan dan pemulihan bagi dunia, sehingga komuni antara Tuhan dan dunia yang semula rusak, kini dimungkinkan lagi lewat Israel (Brueggemann: 431). Jadi di satu sisi Israel sebagai imam perlu diasingkan, namun itu dalam fungsinya sebagai penghubung atau perantara Allah dan manusia.

Terang Dunia

Identitas Israel sebagai terang dunia merupakan inti dari kitab Yesaya 40-55. Dalam kitab ini keterlibatan Israel dengan Allah diletakkan dalam bingkai fungsi pertanggungjawabannya untuk bangsa-bangsa. Israel disebut terang untuk bangsa-bangsa, perjanjian bagi umat manusia, membuka mata yang buta, membebaskan tawanan (42:6-7). Jadi melalui Hamba Tuhan [Israel][5], keselamatan Dari Tuhan sampai ke ujung bumi (49:7). Namun penting dicatat bahwa teologi kitab Yesaya bersifat teosentris. Aktifitas utama adalah aktifitas Allah. Israel adalah panggung di mana Allah berkarya, yaitu membebaskan, menebus, dan menciptakan Israel kembali, yang dengan demikian bangsa-bangsa akan tertarik dan datang mengenal Tuhan Jadi Israel bersifat pasif. Sifat misioner dalam pengertian aktif tidak dijumpai di dalam Perjanjian Lama. Aktor utama yang melakukan misi adalah Tuhan sendiri.

Mungkinkah Terjadi?

Pemahaman Israel sebagai umat Pilihan yang dimaknai dalam perspektif misioner memang tidak membuat Israel menjadi aktif. Namun tidak berarti bahwa Israel tidak melakukan aktifitas misioner. Aktifitas misioner dilakukan secara pasif, yaitu dengan menekankan sifat keterpilihannya yang dimaknai sebagai komunitas alternatif, komunitas yang taat kepada Allah. Melalui ketaatan itulah bangsa-bangsa akan diberkati dan akan tertarik untuk mengenal Allah Israel.

Di dalam sejarah ada periode yang menunjukkan keberhasilan aktifitas misioner Israel. Sekitar tahun 200 SM-200 M diteliti oleh Weiden sebagai masa misioner umat Yahudi.[6] Waktu itu banyak komunitas Yahudi yang tersebar di kota-kota yang dibangun Kerajaan Yunani, antara lain di Aleksandria (Mesir) dan Anthiokia (Siria). Saat itu kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan Yunani (helenis). Namun komunitas Yahudi hidup menurut ketetapan Taurat yang dipegang kuat oleh setiap orang Yahudi waktu itu. Akibatnya memang mereka dianggap aneh oleh masyarakat sekitar karena berbeda dengan pola hidup yang ada. Keyakinan umat Yahudi pada Satu Tuhan merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat yang meyakini banyak dewa. Namun kehidupan moral dan nilai-nilai yang diterapkan komunitas Yahudi cukup menarik banyak orang. Akibatnya banyak orang-orang di sekitar mereka yang masuk menjadi anggota komunitas Yahudi (proselit). Padahal untuk bergabung dalam komunitas Yahudi bukan hal yang mudah. Mereka harus disunat, harus meninggalkan keluarganya, meninggalkan kebiasaan lama, dan ikut aturan-aturan di dalam komunitas Yahudi. Karena tuntutan yang berat itu banyak orang yang hanya menjadi simpatisan komunitas Yahudi, yaitu mereka yang ikut beribadah dan mempelajari ajaran Yahudi tetapi tidak bergabung ke dalam komunitas Yahudi.

Komunitas kristen di abad pertama pun sebenarnya tidak seaktif yang kita bayangkan. Dalam kesadarannya mereka masih memahami diri sebagai bagian dari komunitas Yahudi. Fokus utama mereka adalah pada orang-orang Yahudi. Pada tahap awal, mereka bahkan tidak berupaya dengan keras untuk memenangkan orang non-Yahudi.[7] Yang terjadi seringkali komunitas Kristen hanya sekedar menerima orang-orang non-Yahudi yang tertarik dengan kekristenan. Bahkan kadang kekristenan awal sedikit curiga terhadap para “mualaf” yang masuk karena sering kali mereka mudah berpaling ketika menghadapi penganiayaan [bnd. Mat13: 20-22] (Bosch: 128). Fokus utama kekristenan awal adalah berupaya mewujudkan diri sebagai murid sejati, murid yang taat terhadap ajaran Yesus dan meneladan kepada Yesus.

Penutup: Refleksi dalam Konteks

Bersaksi dalam kepasifan dipahami sebagai upaya kesaksian yang lebih menekankan pada penguatan identitas dalam sebuah komunitas. Fokusnya lebih ke dalam komunitas dari pada ke luar. Inti pemikirannya adalah umat Tuhan perlu mewujudkan diri sebagai umat yang benar sesuai dengan panggilannya sebagai “komunitas alternatif” yang sungguh-sungguh taat pada perintah Allah. Wujud konkretnya adalah dengan membangun komunitas murid sejati, komunitas yang dalam hidupnya sungguh-sungguh mempraktikkan keadilan, kebenaran, dan cinta kasih.

Gereja memahami dirinya sebagai komunitas umat pilihan (I Petrus 2:9). Maka gereja di tengah-tengah dunia perlu menegaskan sifat alternatifnya. Gereja memang hadir di tengah-tengah dunia tetapi perlu berbeda dengan dunia. Gereja sebagai Komunitas alternatif tidak mengasingkan diri dari dunia, dalam arti tidak mau peduli pada dunia. Gereja perlu menjaga identitasnya di dunia. Gereja adalah terang dan garam yang karena keberbedaannya dengan dunia mampu memberi warna dan rasa pada dunia. Ketika gereja menjadi sama dengan dunia, maka gereja seperti garam yang tawar, tidak ada yang disumbangkan gereja bagi dunia.

Contoh teladan yang baik adalah Dietrich Bonhoeffer dan beberapa gereja di Jerman pada masa pemerintahan Hitler. Saat rezim otoriter Hitler banyak gereja yang ikut larut dengan budaya dan politik yang fasis/otoriter. Hanya sedikit gereja yang berani menjaga jarak dengan budaya politik yang jahat waktu itu. Walaupun mereka mengalami tekanan dari pemerintah, tetapi justru dalam sikap menjaga jarak itulah gereja menjadi terang pada waktu itu.

Dalam konteks Indonesia, model kesaksian seperti diungkapkan di atas mungkin cukup kontekstual. Ketika bangsa ini sedang mengalami krisis moral, krisis keadilan, krisis kasih, gereja perlu menjadi komunitas alternatif yang menunjukkan keadilan dan kebenaran. Justru di situlah gereja memberi kesaksian kepada masyarakat. Jadi bila orang rindu melihat cinta kasih, keadilan, kejujuran, orang dapat melihat dalam komunitas orang-orang percaya. Dengan demikian, kesaksian bukan hanya berupa propaganda kata-kata ke luar, tetapi pada praksis kehidupan yang benar. Kesaksian tidak hanya sekedar menekankan pada target kuantitas/jumlah, yang sering kali membuat gereja menjadi hiperaktif. Kualitas sebagai komunitas pilihan Allah perlu diwujudnyatakan. Karena pada dasarnya misi adalah misi Allah. Gereja tidak dapat menggantikan Allah, gereja hanya ikut berpartisipasi dalam misi Allah itu. Oleh karena itu gereja tidak perlu menjadi hiperaktif. Kadang gereja perlu “pasif” dan membiarkan Allah yang aktif berkarya. Porsi kita adalah bagaimana hidup benar di saat kebenaran telah terkikis, hidup terang di saat kegelapan menyelimuti bumi.


[1] Berkaitan dengan situasi di Timur Tengah saat ini, lebih baik si sini ditegaskan bahwa pemahaman “Israel” dalam Tulisan ini dipahami sebagai komunitas religius sebagaimana ditampilkan oleh PL. ini untuk membedakan dengan “Israel modern” yang mungkin lebih tepat disebut sebagai gerakan “Zionis” yang sebenarnya merupakan suatu wujud negara baru yang disatukan aoleh faktor politis, bukan agama.

[2] Donald  Senior and Carroll Stuhlmueller, The Biblical Foundations for Mission, (Maryknoll-NY: Orbis Books), 2001. p.83-105.

[3] Walter Brueggemann, Teology Of The Old Testament:  Testimony, Dispute, Advocacy (Mineapolis: Fortress Press, 1997), p. 431

[4] Ibid., p. 421-430.

[5] Selama ini ada diskusi mengenai identitas Hamba Tuhan dalam Yesaya 40-55. Apakah Hamba Tuhan itu adalah seorang tokoh individual (seperti yang banyak dipahami umat Kristen sebagai nubuatan Yesus Kristus) ataukah merupakan komunitas? Penelitian yang dilakukan banyak ahli PL menyimpulkan bahwa Hamba Tuhan dalam Yesaya dapat diartikan sebagai komunitas ataupun individu yang mewakili komunitas itu.

[6] Wim van der  Weiden. “Gerakan Misioner dalam Kalangan Yahudi pada periode 200 seb. M – 200 ses. M” dalam J.B. Banawiratma (ed), Misi: Orientasi Baru?, Orientasi Baru No. 6, Th.1992, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 61-94

[7] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. hlm. 64-65.

Selamat Datang

Selamat datang di Blog Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Jepara. Sebuah gereja yang berlokasi di kota Jepara, Jawa Tengah. Untuk melihat profil GITJ Jepara, silahkan klik pada tab "sejarah GITJ Jepara" di mainbar. Tuhan memberkati.
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031