You are currently browsing the tag archive for the ‘Hidup Beragama’ tag.

Pada tahun 1940 ketika perang melanda Eropa, seorang pemuda dari Swiss bernama Roger memimpikan situasi persaudaraan di antara sesama manusia seperti yang diajarkan Yesus. Ia begitu prihatin melihat perang dan kebencian yang terjadi di Eropa. Karena itu, dengan seijin ayahnya yang adalah seorang pendeta Protestan di Swiss, ia pergi ke Perancis. Ia bersepeda dan sampai di desa kecil bernama Taize (baca: Teesee). Di situ ia membeli rumah kosong yang sudah rusak dan membukanya bagi para pengungsi Yahudi yang dikejar Nazi. Tiap pagi, siang, dan malam Roger mengajak mereka beribadah secara hening. Di rumah itu Roger menciptakan persaudaraan yang didasarkan pada ajaran Yesus di bukit (Matius 5), penuh sukacite, sederhana, dan murah hati. Pelayanan Roger ini didukung oleh beberapa temannya (berjumlah 6 orang) dan akhirnya mereka membuat komitmen untuk mengabdikan hidupnya di sana. Dengan demikian lahirlah Communaute de Taize (Komunitas Taize).

Sekarang Komunitas taize telah berjumlah sekitar 90 orang dari 20 negara. Mereka disebut Baca entri selengkapnya »

Pengantar

Kita hidup di tengah masyarakat yang majemuk, termasuk kemajemukan agama. Sering kali perbedaan agama dan keyakinan menjadi hal yang sensitif di masyarakat kita. Tiap-tiap keyakinan memiliki klaim kebenaran yang dipertandingkan dan sering kali berujung pada konflik. Apalagi kita hidup dalam suasana masyarakat modern yang berpemahaman bahwa kebenaran selalu tunggal. Sehingga apabila ada banyak klaim kebenaran, dalam pola pikir modern, harus ada satu kebenaran yang sungguh-sungguh benar dan yang lain adalah salah. Tentu yang dipahami sebagai yang sungguh-sungguh benar adalah kebenaran kelompoknya dan kebenaran yang palsu adalah kelompok yang lain. Pertanyaannya: apakah keyakinan akan kebenaran harus selalu didasarkan pada penghakiman bahwa yang lain itu salah?

Di dalam kekristenan sendiri terkandung banyak klaim kebenaran, khususnya berkenaan dengan keselamatan di dalam Yesus. Di antaranya seperti yang tertulis dalam Yohanes 14:6,”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Kita akan bersama menggumuli keyakinan iman ini secara kontekstual, sehingga di tengah-tengah masyarakat yang majemuk ini kita tetap memiliki komitmen sekaligus keterbukaan dalam berelasi dengan yang lain.

Memahami Yohanes 14:1-14

  1. Tujuan

Perikop ini sebenarnya tidak berbicara mengenai masalah keberadaan agama-agama lain. Sehingga sebenarnya kurang tepat kalau memakai perikop ini untuk menghakimi keyakinan agama lain. Kalau dilihat dari alur ceritanya, kisah dalam perikop ini masuk dalam rangkaian pesan-pesan perpisahan Yesus dengan para muridnya (Pasal 13-17) menjelang Ia ditangkap (pasal 18). Mendengar bahwa Yesus akan meninggalkan mereka para murid menjadi sedih, kecewa, bingung dan gelisah (ayat 1: janganlah gelisah hatimu…). Kenapa sedih dan gelisah? Karena para murid selama ini meyakini bahwa Yesus adalah Mesias yang akan membebaskan mereka dari penjajahan Roma, sebagaimana yang menjadi pengharapan semua orang Yahudi waktu itu. Baca entri selengkapnya »

Oleh Danang Kristiawan, S.Th

Banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius dan agamis. Hal itu didasarkan kenyataan bahwa di Indonesia ada banyak agama dan semua penduduknya diharuskan memeluk suatu agama. Dengan demikian seharusnya kehidupan orang-orang Indonesia kental dengan agama. Kalau itu benar, perlu dipertanyakan mengapa kehidupan moral masyarakat Indonesia sangat terpuruk? Di mana-mana terjadi pelanggaran HAM, korupsi, kekerasan yang pada dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai agama. Memang ini menjadi sebuah keadaan yang paradoksal. Di satu sisi Indonesia kaya akan agama tetapi di sisi lain kehidupan moralnya korup. Maka benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius atau agamis? Apakah agama masih memiliki “taji” bagi masyarakat Indonesia?

Harus diakui, kehidupan keagamaan masyarakat indosnesia pada umumnya masih berada dalam tataran simbolis. Dalam arti pemahaman orang Indonesia mengenai agama masih berkutat pada simbol-simbol luarnya. Antara lain dapat dilihat dari ritual, barang-barang yang berbau agama, perkataan-perkataan yang “ke-agama-agamaan”. Apakah ini salah? Sebenarnya tidak. Karena pada dasarnya agama merupakan sebuah sistem simbol yang diberi makna untuk menerangkan pemahaman mengenai Yang Ilahi. Atau dengan kata lain agama sebenarnya merupakan ungkapan iman yang diekspresikan secara kolektif melalui simbol-simbol yang bermakna. Tetapi yang sering kali dilupakan adalah bahwa simbol itu tidak berdiri pada dirinya sendiri (an sich). Simbol selalu merujuk kepada apa yang disimbolkan, yaitu sesuatu yang sangat bermakna dan tak terbatas, suatu perjumpaan antara manusia dan Tuhan yang diletakkan dalam kerangka iman. Yang menjadi masalah adalah ketika simbol-simbol itu dimutlakkan sehingga menggeser esensi dari simbol itu. Akibatnya terjadi keterputusan antara simbol dengan “dunia” yang disimbolkan. Pada titik tertentu simbol-simbol itu akan menjadi sebuah onggokan “sampah yang mulia” yang tidak bermakna.

Pemahaman orang mengenai agama dapat saja terjebak hanya sebatas simbol-simbol semata. Atau, beragama selalu dilihat dalam keformalannya, aspek kulitnya, tanpa menembus kedalaman hakiki dari agama itu sendiri. Sampai pada taraf tertentu, agama dapat menjadi seperti sebuah barang antik. Orang tertarik pada ritual-ritual keagamaan hanya sebatas sebagai sebuah kesenangan rekreatif yang dibungkus dengan muatan-muatan kepentingan yang lain. Misalnya muatan sosial, supaya orang dilihat sebagai orang yang saleh, rajin, baik. Hal itu didukung pemahaman sebagian besar masyarakat Indonesia yang melihat seseorang itu baik atau tidak berdasarkan pada seberapa rajin orang itu mengikuti ritual-ritual keagamaan dan seberapa banyak simbol-simbol agama yang dikenakan. Misalnya seberapa sering orang itu menyebut haleluya, puji Tuhan, memakai perhiasan salib, ataupun juga dengan mengutip ayat-ayat suci. Bahkan banyak masyarakat kita yang menilai baik buruknya seorang politikus atau birokrat negara dari kefasihannya mengucapkan salam.

Pemahaman agama yang hanya memberi penekanan pada simbol akan memberi peluang bagi penyelewengan-penyelewengan agama untuk kepentingan tertentu. Contoh konkrit adalah di bidang politik. Lihat saja menjelang pemilu, banyak partai mengusung simbol-simbol agama. Ditambah lagi dengan para tokoh politik yang tiba-tiba berubah menjadi “alim” dengan mengunjungi tempat ibadah ataupun melakukan acara-acara keagamaan. Jangan-jangan mereka memakai agama sebagai kendaraan politiknya, yaitu untuk menarik massa sebanyak-banyaknya. Di Indonesia cara itu sangat efektif sekali karena simbol-simbol agama masih memiliki “harga” di masyarakat. Apalagi bila sudah diberi legetimasi ayat-ayat suci akan lebih dahsyat lagi pengaruhnya. Padahal itu dapat saja menjadi pembohongan dan hanya merupakan akal-akalan memanfaatkan alam pikir masyarakat Indonesia yang sudah banyak terjebak pada pengagungan simbol.

Tetapi justru di sinilah “taji” dari agama-agama di Indonesia. Jelas agama masih memiliki peran yang besar, namun sayangnya perannya lebih banyak dijadikan sebagai kendaraan kepentingan. Agama-agama yang diharapkan menjadi landasan etik, moral, dan transformasi sosial bangsa Indonesia masih jauh dari harapan. Buktinya semakin banyak aturan mengenai kehidupan beragama, semakin banyak tempat ibadah didirikan, tetapi toh semakin banyak orang-orang yang semakin merosot moralitasnya. Mengapa demikian? Sekali lagi karena keberagamaan hanya menekankan pada aspek simbolis tanpa mampu menembus jati diri dan nurani para pemeluknya. Dengan demikian, kembali ke pertanyaan awal, apakah benar masyarakat Indonesia sungguh masyarakat agamis? Jangan-jangan hanya berkulitkan agamis tetapi sesungguhnya sama sekali tidak peduli dengan agama (sekulerisme?). Atau orang-orang hanya sekedar mempunyai agama tetapi tidak ber-agama atau menghidupi agama.

Mempunyai agama ( having religion) berarti ada jarak antara individu dengan agama yang dipeluknya. Agama seperti barang antik yang dipunyai dan dapat disimpan atau dikenakan tetapi tidak membawa pengaruh dalam kehidupannya. Ber-agama (being religious) merupakan sebuah “proses menjadi” yang terus menerus. Ada kelekatan antara individu dan agama yang dipeluknya. Agama tidak hanya sekedar dimiliki atau dipeluk, tetapi juga dihidupi.

Untuk ini, Romo Mangun biasa membedakan antara “agama” dan “religiositas”. Keduanya terkait tetapi tidak sama. Agama biasanya memiliki aspek perhatian pada sisi luarnya atau formalnya, peraturannya, hukumnya, organisasinya, ritualnya, dan sistem-sistem ajarannya. Sedangkan religiositas lebih menekankan aspek esensinya yaitu hidup batin yang menjadi akar dalam berelasi dengan Tuhan dan sesamanya. Religiositas lebih mengarah pada penghayatan iman dan nilai-nilai ketuhanan. Jadi lebih menekankan aspek dalam (inner) dan kedewasaannya. Seorang yang secara formal tidak beragama atau tidak banyak mengenakan simbol-simbol agama dapat bersikap lebih religius dari pada orang yang secara resmi beragama tetapi korup. Walaupun idealnya adalah orang beragama sekaligus hidup religius.

Dilihat dari pemikiran ini, bangsa Indonesia dapat saja mengklaim sebagai bangsa yang agamis, tetapi belum tentu bangsa yang religius. Karena religiusitas akan terwujud dalam praktik kehidupan. Tentunya bagi kita, umat Kristen, perlu merenungkan kembali keberagamaan kita. Apakah kita sungguh menjadi Kristen atau sekedar mempunyai agama Kristen? Apakah kita sungguh ber-iman atau hanya sekedar mempunyai iman?

Selamat Datang

Selamat datang di Blog Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Jepara. Sebuah gereja yang berlokasi di kota Jepara, Jawa Tengah. Untuk melihat profil GITJ Jepara, silahkan klik pada tab "sejarah GITJ Jepara" di mainbar. Tuhan memberkati.
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031