You are currently browsing the tag archive for the ‘Senenan’ tag.

Latar Belakang

Kehadiran GITJ di wilayah Jepara dan sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari karya Kiai Ibrahim Tunggul Wulung (1800-1885) dan para pengikutnya yang membentuk komunitas Kristen Jawa Merdeka di daerah Bondo, Banyutowo, dukuhseti dan Tegalombo sejak tahun 1850-an. Dalam pelayanannya sekitar 30 tahun, Tunggul Wulung memiliki pengikut kurang lebih sekitar 1000 orang, jauh lebih besar dibandingkan dengan pelayanan misi Pieter Anthoni Janzs dari badan misi DZV (Doopgesinde Zendings Vereeniging) yang mulai bekerja di Jepara dan sekitarnya tahun 1852. Setelah Tunggul Wulung wafat pada tahun 1885, komunitas Kristen Jawa yang didirikannya lambat laun menggabungkan diri dengan jemaat DZV. Selanjutnya misi di daerah Jepara dan sekitarnya banyak dilaksanakan oleh Pieter Janzs dari DZV dan beberapa tokoh lokal, seperti Pasrah Karso dan Pasrah Noeriman. Dengan ijin dari Pemerintah Hindia Belanda, Jansz membuka desa-desa baru, di antaranya: Kedung penjalin, Margoredjo, Bumi Hardjo, dan Pakis Swawal.

Karena pengaruh kebijakan politik Etis yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun 1900-an, maka kegiatan misi juga diarahkan ke masalah pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian banyak tenaga pengajar dan medis yang dihasilkan dari desa-desa Kristen. Dalam perkembangan selanjutnya, tenaga-tenaga pengajar dan medis ini banyak yang tersebar ke kota di mana kekristenan belum berkembang di sana. Selain itu karena banyak pemuda-pemuda Kristen dari desa yang belajar ke kota, sehingga kekristenan mulai mengalir ke perkotaan. Dari sinilah sebenarnya awal dari terbentuknya GITJ Jepara.

Cikal Bakal GITJ Jepara

Menurut Bp. Kusnadi dan Ny.Katrin (keduanya adalah anak dari Karjono Dirdjo Admodjo), pada awal tahun 1932 di Jepara sudah ada beberapa keluarga Kristen. Yaitu Kardjono Dirdjo Admodjo yang berprofesi sebagai guru, Samilin yang berprofesi sebagai tenaga medis, dan Tarjo. Setiap hari minggu mereka kebaktian di Pakis Swawal, Srobyong, atau Kedung Penjalin. Karena jarak yang cukup jauh dan sarana transportasi yang kurang memadai, maka mereka memutuskan untuk mengadakan kebaktian sendiri di Jepara. Pada tanggal 12 April 1932 mereka mengadakan kebaktian pertama kali di rumah Kardjono Dirdjo Admodjo (sekarang Jl. Kartini no.20). Kebaktian dihadiri sekitar 10 orang, termasuk anak-anak muda yang belajar di kota. Saat itu yang melayani adalah Johann Hubert Martin dari Kedung Penjalin.

Menurut Bapak dan Ibu L. Soewandi, kebaktian selanjutnya dipindahkan ke rumah Samilin (sekarang Jl. Pemuda No.4) supaya lebih strategis jangkauannya. Namun karena kemudian Samilin pindah tugas ke pecangaan, maka kebaktian dipindah ke sebuah gedung (sekarang Gedung Imanuel GKMI Jepara). Kebaktian saat itu dihadiri kurang lebih 25 orang yang dipimpin oleh GI. Radijo Nitihardjo yang pada tahun 1937 pindah dari Kayu Apu ke jepara dan bertempat tinggal di depan Klenteng jepara (sekarang Jl. Diponegoro no.11).

Karena GI. Radijo Nitihardjo kemudian pindah di rumah Karto Darkum Siram di Pengkol (sekarang Jl. Slamet Riyadi no. 15 Jepara), maka kebaktian dipindah di rumah kontrakan tersebut dan dilayani oleh GI.Radijo Nitihardjo, I.S. Siswoyo, dan tenaga pembambantu dari kedung Penjalin. Jumlah yang ikut kebaktian berkurang, mengingat banyak dari mereka yang pindah tugas atau kembali ke daerahnya masing-masing. Pada waktu itu sudah diadakan Baptisan dan Perjamuan kudus.

Pada tanggal 10 September 1939, Radijo Bitihardjo mendapat panggilan melayani di Margokerto dan menetap di sana setelah pada tanggal 14 Nopember ditahbiskan menjadi pendeta. Karena itu, kebaktian yang semula di Pengkol, oleh GI. I.S. Siswoyo pada tahun 1942 dipindah lagi ke rumah Samilin di Jl. Pemuda No.4 Jepara. Kebaktian dilaksanakan tiap minggu sore dan dihadiri sekitar 25 orang. Kemudian GI. I.S. Siswoyo ditahbiskan menjadi Pendeta oleh Sinode di Kelet dan menjadi pendeta utusan di jepara.

Lambang GITJ

Lambang GITJ

Awal Kedewasaan

Seiring berjalannya waktu, persekutuan di jepara sudah mulai mapan. Sehingga pada tahun 1942 dipilih beberapa pengurus yang melayani dan menjadi penghubung dengan gereja-gereja lain. Mereka adalah: I.S. Siswoyo, Samilin, L. Soewandi, dan Y. Koesnadi. Pertumbuhan semakin kuat dengan bertambahnya anggota yang datang dari daerah lain, yaitu keluarga Koesmanto, Soepadmo, Pratiknya, Djajusman, Karmiadi, R. Soenyata, Redjo, dan para anak muda yang belajar di Jepara.

Dengan pertumbuhan yang cukup baik itu, maka ada keinginan dari jemaat untuk mendirikan gedung Gereja sebagai tempat ibadah yang tetap. Akhirnya jemaat dapat membeli tanah seluas 700 m² atas nama P. Soetartono dengan harga Rp. 35.000,00. Dana saat itu diperoleh dari bantuan Sinode dan dari sumbangan anggota jemaat maupun para simpatisan. Dedikasi anggota jemaat saat itu sangat tinggi dengan memberikan persembahan baik berupa uang maupun bahan material untuk pembangunan gereja di Jepara sampai akhirnya bangunan gereja dapat berdiri. Meskipun bangunan belum sempurna, namun sudah ditempati sebagai tempat kebaktian dan diresmikan pada tanggal 12 April 1961 yang dihadiri oleh Ds. Djojodihardjo sebagai pembawa Firman Tuhan. Bersamaan dengan itu pula dilaksanakan peneguhan majelis GITJ Jepara. Gedung gereja tersebut masih ditempati sampai saat ini dengan renovasi dua kali seiring dengan bertambahnya anggota jemaat, yaitu pada tahun 1975 dan 1995.

GITJ Jepara dalam PertumbuhanNya

Dalam melaksanakan panggilannya, GITJ Jepara selama kurun waktu tahun 1961-sekarang telah menumbuhkan tiga Pepanthan, yaitu Sukodono, Senenan, dan Bandengan.

1. GITJ Sukodono

Pembawa berita Injil ke Sukodono adalah Parman bin Kandang yang pada tahun 1964 ia datang dari Pati dan saat itu ia telah beragama Kristen. Setelah beberapa waktu akhirnya ada beberapa orang yang tertarik dengan Injil. Untuk menambah pemahaman mengenai Injil dan kekristenan maka didatangkanlah Pdt. P. Soetartono dari GITJ Jepara untuk membina iman mereka. Kebaktian pun dilaksanakan di Sukodono pada bulan Juni 1965 di rumah Parman selama 7 bulan. Tiap-tiap kebaktian dihadiri 9 orang dari Sukodono ditambah pendeta, majelis, dan Paduan Suara GITJ Jepara sehingga jumlahnya kurang lebih sekitar 25 orang. Dalam kebaktian itu selalu diselibkan kegiatan seperti merenda dan menyulam yang dipimpin Ny. Pdt. P.Soetartono dan Ny. Rudjito.

Selanjutnya kebaktian berpindah ke rumah Bp. Saban dan kemudian Bp. Prawiro yang lebih luas mengingat jumlah yang hadir semakin banyak. Akhirnya jemaat bertekad untuk membangun gedung gereja meskipun saat itu baru berjumlah 20 orang. GITJ Jepara membantu membeli sebidang tanah untuk bangunan gereja sedangkan jemaat bergotong royong mengumpulkan dana dan bahan bangunan. Pada tanggal 27 Juli 1968 pembangunan dimulai dan pada tanggal 23 Desember 1968 pembangunan selesai 95% dan saat itu diadakan perayaan natal dan peresmian gedung gereja. Untuk membina jemaat yang terus bertumbuh, yaitu sekitar 60 orang, pada tanggal 21 Desember 1973 S. Soepardi pembantu pendeta GITJ Jepara diangkat dan ditahbiskan menjadi pendeta GITJ Sukodono.

2. Pepanthan Bandengan

Orang yang pertama kali menjadi Kristen di Bandengan adalah Suntono yang awalnya ke Bandengan untuk merantau bekerja dan mencari Ilmu. Awalnya Suntono Di Desa Banyumanis Kecamatan Keling, bertemu dengan seorang dukun yang bertobat menjadi Kristen bernama Singa. Akhirnya Suntono menjadi Kristen dan dibaptis di GITJ Jeruk Rejo pada tahun 1967 dan menikah dengan Parsini di Banyumanis. Pada tahun 1975 Ia ke Bandengan dan tahun 1977 datang ke GITJ Jepara meminta untuk dilayani kebaktian keluarga di rumahnya. Waktu selanjutnya, kebaktian di rumah Suntono dihadiri banyak tetangga yang ikut bergabung sehingga rumahnya tidak muat lagi.

Berkat kerja sama dengan GKMI Jepara akhirnya dapat dibangun brak tempat kebaktian di atas tanah milik Suntono dan pada tanggal 16 April 1978 meneguhkan Markus Karyoso menjadi Guru Injil di Bandengan. Kerja sama dengan GKMI Jepara terus berlanjut dan akhirnya dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun gedung gereja. Namun karena berbagai rintangan dari masyarakat sekitar akhirnya brak dan tanah dijual dan kebaktian dipindah ke sebuah rumah yang dibeli GITJ Jepara di jalan raya menuju Pemandian Tirta Samudra Bandengan pada tanggal 18 Desember 1978 atas nama Markus Karyoso. Karena pada tanggal 10 Juni 1981 Markus Karyoso ditahbiskan menjadi pendeta dan diutus oleh Pengurus Komisi Pembangunan Luar Jawa (KPLJ) Sinode GITJ ke Way Abung II Lampung, maka pelayanan di Bandengan dilakukan oleh GITJ Jepara. Pada tahun 1995 tanah untuk kebaktian diatasnamakan Nawi, salah seorang warga Pepanthan Bandengan dan pada tahun itu pula rumah dipugar.

3. Pepanthan Senenan

Karena kasih Kristus, GITJ Jepara dapat membuka Pepanthan di Desa Senenan sekitar 4 km ke arah timur kota Jepara. Kebaktian di Senenan pertama kali diadakan pada tanggal 15 Desember 1978 dan kemudian diteruskan setiap hari jumat pukul 19.00 bertempat di rumah Bp. Sarno Soepodo, BA, seorang anggota GITJ Jepara yang bertempat tinggal di Senenan. Melihat pertumbuhan jumlah yang ikut kebaktian keluarga, maka ada kerinduan untuk memiliki sebidang tanah dan membangun gedung gereja. Berkat kerja sama dengan GKMI Jepara akhirnya dapat dibeli sebidang tanah seluas 466 m² atas nama Sarno Soepodo dan dibangun gereja. Pada tanggal 21 Desember 1981 diadakan perayaan Natal pertama kali pepanthan Senenan di gedung gereja yang baru. Perayaan Natal itu dihadiri sekitar 250 pengunjung.

Selamat Datang

Selamat datang di Blog Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Jepara. Sebuah gereja yang berlokasi di kota Jepara, Jawa Tengah. Untuk melihat profil GITJ Jepara, silahkan klik pada tab "sejarah GITJ Jepara" di mainbar. Tuhan memberkati.
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031