Salah satu dari 3 tugas gereja yang selama ini dikenal adalah persekutuan (koinonia). Namun persekutuan sering kali dimaknai secara sempit sekedar pertemuan-pertemuan ibadah saja. Tugas bersekutu diukur dari seberapa banyak yang ikut kebaktian, seberapa rajin mengikuti acara gereja, dan seberapa aktif ambil bagian dalam pelayanan gereja. Tentu semua itu baik, positif, dan bermanfaat. Tetapi itu saja tidak cukup untuk memaknai persekutuan. Persekutuan (koinonia) lebih luas dari hal-hal itu. dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 kita melihat bentuk persekutuan jemaat mula-mula. Memang konteks dan siatuasinya berbeda dengan kondisi kita sekarang di Jepara, namun dari kisah itu setidaknya kita bisa melihat semangat (spirit) persekutuan yang tertanam di dalamnya.

  1. Persekutuan dalam pengajaran dan doa (42)

Para orang yang bertobat memiliki ketekunan untuk memperdalam iman mereka dalam pengajaran para Rasul. Ada keinginan untuk belajar, sehingga kepercayaan mereka tidak sekedar emosional saja. Tentu pengajaran tidak sekedar menambah wawasan intelektual tentang iman Kristen. Pengajaran menyangkut juga kehidupan jemaat, di mana melalui pengajaran itu jemaat semakin mengetahui kehendak Allah dalam hidupnya.

  1. Ada kesehatian

Persekutuan tidak hanya sekedar orang “nggrombol” ramai-ramai seperti nonton pertunjukan. Persekutuan tidak hanya sekedar kita berkumpul secara fisik. Tetapi persekutuan menyangkut juga masalah hati! Kita bisa menipun orang dengan kita berkumpul, tersenyum, berjabat tangan, tetapi hati kita jauh, dendam, terpecah. Kita bisa berwajah manis ketika saling ketemu, bisa menyapa, tetapi bisa saja hati kita sebal, muak, benci. Persekutuan yang benar dituntut untuk memiliki kesehatian. Tanpa kesehatian sesungguhnya persekutuan menjadi persekutuan yang palsu, kering tanpa jiwa.

  1. Ada persaudaraan, kesetaraan, dan penerimaan (46)

Jemaat sering kali berkumpul dengan memecah roti dan makan bersama. Ada yang menduga itu merupakan bentuk ekaristi (perjamuan kudus) pada masa gereja mula-mula. Praktik itu juga mengingatkan pada apa yang sering kali dilakukan Yesus, bersekutu makan bersama dengan para murid-Nya maupun orang berdosa. Inti dari memecahkan roti dan makan bersama (ekaristi) adalah penerimaan satu dengan yang lain. Dalam persekutuan itu ada kesetaraan, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, lebih terhormat atau kurang terhormat, tetapi semuanya setara. Ada penerimaan, termasuk orang-orang yang berdosa. Persekutuan kita seharusnya berprinsipkan kesetaraan itu. Tidak ada diskriminasi berdasarkan etnis, kekayaan, dan pendidikan. Jangan sampai yang kaya, yang berpendidikan tinggi, yang terhormat di masyarakat, yang berjabatan tingi, lebih diutamakan dari pada yang lemah, orang-orang yang dianggap biasa, yang kurang menonjol, dsb.

  1. Ada solidaritas (44-45)

Solidaritas jemaat mula-mula ditunjukkan dengan kerelaan mereka untuk menolong satu dengan yang lain. Kepunyaan dianggap sebagai kepunyaan bersama, daam arti siapa yang membutuhkan akan diberi pertolongan sepenuhnya. Itu bisa terjadi karena ada semangat persaudaraan yang sangat kuat sekali. Tidak ada kerakusan dan keserakahan untuk memiliki sesuatu sampai tidak peduli kepada saudaranya yang memerlukan. Memang seiring dengan berkembangnya jalan, semangat untuk solider ini semakin tipis. Orang bisa menghabiskan banyak uang demi kesenangannya tetapi tega saja melihat orang lain kelaparan. Kalau gereja hendak menciptakan persekutuan yang benar, maka semangat untuk solider perlu ditumbuhkan. Ironisnya gereja yang saat ini memiliki persekutuan yang kuat, yang menanamkan semangat solidaritas di antara warganya justru gereja Mormon, suatu aliran yang sering kali dicap bidat.

Jaman memang berubah. Jaman sering kali mempengaruhi pola pikir dan perilaku. Sekarang orang menjadi sangat individualistis sehingga semangat persekutuan semakin menipis. Salah satu fenomena yang saat ini populer bagi anak muda adalah Facebook. Di satu sisi itu banyak memiliki nilai positif, di mana kita bisa memiliki banyak teman, bisa berhubungan dengan orang di seluruh dunia. Pengguna facebook beberapa waktu yang lalu mencapai angka 200 juta orang. Tetapi facebook hanyalah sesuatu yang maya. Orang dihubungkan dalam suatu dunia persahabatan yang “palsu”, tidak riil. Dengan menghadap komputer atau HP orang melihat tulisan-tulisan yang menggiringnya ke alam imajiner seolah-olah yang dihadapi itu nyata, padahal itu maya. Di depan HP atau komputer orang dilempar ke dunia lain dan menjadi sangat tidak responsif terhadap dunia yang riil. Akibat yang paling buruk adalah tumpulnya rasa kemanusiaan (sense of humanity), karena keterhubungan sekarang hanya diciptakan dalam dunia yang maya. Sentuhan manusiawi, perjumpaan fisik yang semakin berkurang memperlemah rasa empati dan naluri kemanusiaannya.

Memang yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana supaya semangat persekutuan itu benar-benar hidup di jemaat kita? Gedung gereja kita boleh megah, peribadatan kita boleh meriah, tetapi tanpa persekutuan yang sesungguhnya, kita akan kehilangan jiwa, kering, dan mati. Semoga Roh Allah menghidupkan persekutuan kita.(dk)